Mendahulukan Akhlaq Ketimbang Hukum


Oleh: Hilmi Jauhari
(Bendahara Yayasan Al Madinah)

Judul tersebut saya adopsi dari risalah karya intelektual muslim, Jalaluddin Rahmat (Kang Jalal), “Dahulukan Akhlak di Atas Fikih”. Secara pribadi, saya tidak sepenuhnya sepakat dengan argumentasi Kang Jalal dalam buku tersebut. Namun dalam konteks penyelesaaian masalah antara Al Madinah dengan tetangga, tesis itu sangat relevan.
Proses negosiasi antara Yayasan dengan kedua tetangga (sebelah barat dan timur), yang rumahnya mengalami kerusakan akibat penurunan tanah di bawah bangunan Grha Aitam Al Madinah, akhirnya diselesaikan secara kekeluargaan.
Proses musyawarah berlangsung alot dan menelan waktu hampir setahun. Ketua Yayasan Al Madinah sudah ditetapkan sebagai tersangka oleh pihak kepolisian. Hampir-hampir kasus ini mesti diselesaikan di meja hijau.
Tetapi pada akhir bulan Oktober, rapat antara pengurus, pembina, dan penasehat Yayasan memutuskan agar perkara ini dituntaskan secara damai tanpa melibatkan aparat hukum. Berapa pun biaya yang harus dikeluarkan, Al Madinah akan menanggungnya.
Perhitungan sementara, total dana pertanggungjawaban tersebut sebesar Rp. 800.000.000 lebih. Padahal sebelumnya Al Madinah sudah mengeluarkan biaya Rp. 100.000.000 untuk perbaikan rumah sebelah utara (belakang Grha Aitam)
Salah satu argumentasi yang meluncur dari salah satu anggota dewan pembina Yayasan saat rapat internal ialah tak semua masalah harus dipandang dengan kaca mata hukum yang hitam putih. Jika penyelesaian melalui jalur pengadilan rentan merenggangkan hubungan antartetangga, maka faktor kemanusiaan wajib didahulukan.
Jika kasus ini masuk ke meja hijau, barangkali hakim akan mengeluarkan vonis yang tampaknya “memenangkan” Al Madinah. Singkatnya, biaya pertanggungjawaban tak sebesar nominal di atas. Namun bisa pula “mengalahkan” Al Madinah karena rupiah yang harus dikeluarkan melebihi angka di atas.
Kehidupan sosial memang bukan seperti pertandingan bulutangkis, di mana ada pemenang dan pecundang. Dalam bahasa hukum, hal itu kerap muncul. Tetapi seharusnya yang ada adalah pemenang dengan pemenang. Maka jika pengadilan terlihat memenangkan satu pihak, toh itu keunggulan semu, sebab persaudaraan terkorbankan.
Di titik ini, saya teringat kisah Kang Jalal saat masa remaja. Ketika pulang dari pesantren kelompok muslim pembaharu yang membidahkan beberapa amal ibadah yang biasa berjalan di kampungnya, seperti qunut, qabliyah jumat, dan sebagainya, ia bersemangat sekali untuk memberantas tradisi tersebut.
Pasalnya, menurut guru-guru di pesantrennya, amal-amal tersebut tidak ada dalam tradisi Nabi, dan secara fiqh berhukum haram. Tetapi yang terjadi, Kang Jalal bertengkar dengan pamannya yang membina pesantren dan penduduk kampung. Sebab, ketika semua orang berdiri untuk salat qabliyah Jumat, ia malah duduk secara demonstratif.
Singkatnya, melalui pengalaman hidup itu Kang Jalal menyimpulkan bahwa fiqh hanyalah pandangan para ulama dengan merujuk pada sumber yang sama, yaitu Al Quran dan hadis. Hanya saja, kemudian berkembang pendapat yang beragam, dan manusia berhak menganut pendapat yang menurutnya baik bagi diri dan lingkungannya.
Kembali ke kasus Al Madinah, seandainya, sekali lagi ini hanya pengandaian, pengadilan mengeluarkan keputusan yang memberatkan Al Madinah, toh Yayasan masih bisa mengajukan banding ke tingkat yang lebih tinggi. Dan boleh jadi keputusannya akan meringankan. Begitu pula sebaliknya dengan pihak tetangga.
Tetapi jika dipikir mendalam, berapa banyak kerugian non material yang harus ditanggung Al Madinah lantaran proses penyelesaian yang berlarut-larut. Karena energi Yayasan banyak tersedot untuk penyelesaian perkara itu, proyek pemberdayaan yatim melalui panti asuhan model terbengkelai, pengembangan media komunikasi publik berjalan lamban, program kemandirian lembaga melalui rintisan unit usaha juga mandek, demikian pula dengan program-program lain.
Belum lagi, jika keputusan pengadilan merugikan salah satu pihak, maka hubungan baik yang telah terjalin antara Al Madinah dengan para tetangga akan tercerabut. Di masa datang, tentu hal ini akan menimbulkan ekses negatif.
Maka solusinya adalah mengedepankan akhlaq (kemanusiaan) daripada hukum. Menurut Kang Jalal, akhlak bisa menyatukan semua pihak, apa pun mazhab hukumnya, karena akhlak bersifat universal. Baginya, tidak ada relativisme akhlak.
Menghormati tetangga, menyebar cinta kasih, menolong mereka yang teraniaya, tentu siapa pun sepakat bahwa itu tindakan mulia. Sementara pada ranah hukum, kemungkinan besar, keputusan pengadilan dirasa tidak adil bagi salah satu pihak yang bersengketa. Di situlah kepastian hukum bertabrakan dengan ketidakadilan.
Artinya, kita harus tawadhu` atau rendah hati. Ibarat kecelakaan di jalan raya, Al Madinah memang menabrak tetangga. Karenanya harus bertanggungjawab atas musibah tak terduga itu.
Pemimpin mazhab fiqh yang banyak dianut oleh masyarakat muslim Indonesia, Imam Syafi’i pernah berujar, ra’yuna shawabun wa yahtamilul khata’ wa ra’yu ghairina khata’un wa yahtamilus shawab (Pendapat kami benar tapi mengandung kemungkinan keliru. Sebaliknya pendapat selain kita keliru, namun mengandung kemungkinan benar). Itulah sikap tawadhu’ yang dicontohkan ulama besar

Comments :

1
Anonim mengatakan...
on 

cara dapetin bukunya gmn? syukur berbagi ilmu tanpa pamrih, he....

Posting Komentar

Saran, kritik dan komentar anda akan sangat membantu kami dalam mengembangkan web blog ini. Terimakasih

 

koleksi

koleksi

Redaksi

Ketua Pengarah: M. Arif Junaidi. Penanggungjawab: Syarif Thayib (Ketua Yayasan Al Madinah).
­Redaktur Ahli: dr. Muhammad Thohir, Sp.Kj., Ahmad Faiz Zainuddin, S.Psi, Masuki M. Astro, Siti Raudlatul Jannah, S.Ag . Pemimpin Umum: Izzuddin Al Anshary. Pemimpin Redaksi: M. Syafiq Syeirozi. Redaktur Pelaksana: A. Suud Fuadi. Dewan Redaksi: Helmi Jauhari, A. Fathul Hudi. Distributor: Syafi’uddin. Kontributor Edisi ini: Aura Azzahra. Desain/Layout: Abd. Rokhman
Alamat Redaksi: Grha Aitam, Jl. Bratang Binangun IX/25-27 Surabaya. Telepon/Faksimile: (031) 5019424 / 5022212. ­E-Mail: redaksimadinah@yahoo.com. Web Blog: majalah-madinah.blogspot.com