Bumi makin sempit. Secara geografis bisa jadi tak banyak berubah. Tetapi produk teknologi mutakhir telah mempermudah warga antarnegara, bahkan antarbenua, untuk berkomunikasi, baik secara langsung maupun tidak.
Sarana transportasi lintas negara semakin banyak. Bersamaan dengan itu, fasilitas komunikasi layaknya internet dan Hand Phone (HP) kian menjamur dan gampang terjangkau oleh semua kalangan. Dengan kedua alat tersebut, di mana pun posisinya, dua orang atau lebih bisa berinteraksi sedekat mereka bertatap muka di warung makan.
Peristiwa di seberang benua bisa diketahui oleh penduduk benua lain dalam beberapa menit kemudian, atau bahkan saat itu juga, tayangan langsung sepakbola misalnya. Fenomena global village (kampung buana) itu nyaris mustahil dilawan.
Itulah salah satu alasan, mengapa banyak orang, termasuk narasumber Al Madinah, beranggapan bahwa menguasai bahasa Inggris merupakan keharusan. Sudah sejak lama, bahasa Inggris ditetapkan oleh Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) sebagai bahasa resmi internasional. Maka jika seseorang ingin tampil di kancah lintas bangsa, siapa pun dia, harus mampu berbahasa Inggris.
Alaistar Pennycook, dalam bukunya The Cultural Politics of English as an International Language (1995), menguraikan bahwa Bahasa Inggris menjadi alat yang sangat ampuh untuk menyebarkan budaya atau karya penutur bahasa tersebut ke seluruh dunia.
Tak heran, jika hampir seluruh budaya populer yang sifatnya mendunia sekarang, berasal dari negara-negara yang penduduknya berbahasa Inggris, terutama Amerika Serikat. Musik pop barat, film produksi Hollywood, makanan dan minuman bermerk asing, dan pakaian, adalah di antaranya.
Maka sejak tahun 2006, Indonesia melakukan investasi jangka panjang melalui jalur pendidikan. Pemerintah, seperti tertuang dalam Lampiran 1 Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 22 tahun 2006, tentang standar kompetensi dan kompetensi dasar Bahasa Inggris untuk Sekolah Dasar, memasukkan pelajaran bahasa tersebut dalam kurikulum SD.
Belum lagi munculnya beberapa sekolah RSD-BI (Rintisan Sekolah Dasar Bertaraf Internasional) yang menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar dalam 4 mata pelajaran yaitu Bahasa Inggris, Matematika, Teknologi Informasi, dan IPA Sains.
Pembelajaran Bahasa Inggris untuk sekolah dasar sebenarnya mulai diberlakukan pada kurikulum 1994. Namun lantaran tidak berkembang baik, pada kurikulum tahun 2004 dirumuskan kembali untuk penyempurnaan. Hingga dua tahun berikutnya, harus benar-benar dilaksanakan oleh seluruh sekolah dasar di negeri ini.
Lantaran berposisi sebagai kendaraan menuju kampung buana, kebutuhan masyarakat terutama generasi muda, akan pembelajaran Bahasa Inggris, tidak perlu diperdebatkan lagi. Namun yang menjadi persoalan, dengan jumlah mata pelajaran di SD yang seabreg, dikhawatirkan, anak-anak merasa terbebani.
Selain itu metode pembelajaran yang kerap melulu berisi tentang penguasaan tata bahasa dan kurang variatif, sempat memicu anggapan bahwa aturan tersebut terlalu dipaksakan dan rawan gagal menuai hasil sesuai yang diharapkan.
Itu pada ranah pendidikan formal. Kini beberapa orang, seperti Ali Murtadho, Presiden Direktur JTV Surabaya, dan Prof. Dr. Ali Aziz, Guru Besar Fakultas Dakwah IAIN Sunan Ampel Surabaya, bahkan mengajari putra-putrinya untuk berkomunikasi dalam bahasa Inggris sejak usia TK.
Menurut pengakuan keduanya, pembelajaran bahasa internasional sejak usia dini berdampak positif pada perkembangan akademis buah hatinya. Sebab dengan kemampuan bahasa yang dimiliki anak-anak, kesempatan mengakses buku atau informasi ilmiah terbentang lebih luas.
Penyerapan siswa terhadap pengetahuan apa pun memang sangat bergantung metode pembelajarannya.
(Redaksi)
Mengenalkan Dunia Global Melalui Bahasa
Salam, Jumat, 18 Desember 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Comments :
Posting Komentar
Saran, kritik dan komentar anda akan sangat membantu kami dalam mengembangkan web blog ini. Terimakasih