Oleh: Agus Sakti
Direktur Lembaga Kajian, Penelitian,
dan Pengembangan Mahasiswa (LKP2M) UIN Malang
Adalah sebuah risalah, barang siapa yang mengetahui porsi hikmah, maunah, dan segala berkah yang ada dalam bingkai Ramadan, niscaya manusia akan menginginkan sebelas bulan yang lain menjadi bulan Ramadan.
Dalam perjalanannya, bulan yang ditunggu umat muslim ini selalu dihiasi dengan beragam ritual agama. Dari santap sahur, hingga salat sunnah tarawih dan witir, dan seterusnya. Pada tahapan selanjutnya hal ini diharapkan mampu meningkatkan kadar keimanan dan ketakwaan umat Islam.
Inilah fenomena khusuk puasa yang bisa diamati di sekitar kita. Praktik puasa selalu mendekati ibadah-ibadah ketuhanan. Pemaknaan puasa yang sarat dengan ritual dan simbolisme agama justru akan memberi warna hitam pada agama. Sebab, sejatinya puasa sendiri memiliki keseimbangan antara aspek ketuhanan (theosentris) dan kemanusiaan (antroposentris).
Kita semua berharap, dalam ibadah puasa, hubungan manusia dengan Tuhannya dan hubungan sesama manusia terjalin harmonis. Mendefinisikan makna puasa secara theosentris merupakan pemahaman yang sempit. Nalar keagaamaan yang sempit bisa dilihat dari pemusatan aktivitas dan segala persoalan pada Tuhan, tanpa mengindahkan harkat, martabat, dan problem kemanusiaan.
Mengedepankan nalar beragama yang sempit dalam berpuasa tanpa menghiraukan aspek-aspek sosial hanya akan membawa agama ke dalam muara pragmatis. Manusia hanya diberi harapan bahwa kelak jika mereka tuntas dengan baik menjalani ujian agama, mereka akan mendapatkan pahala dan surga tanpa ada perhatian pada aspek kemanusiaan.
Keseimbangan Berpuasa
Mohammad Arkoun dalam Al-Fikrul Islaamy; Naqd wa Ijtihaad menjelaskan bahwa kuatnya model “nalar teologis” (al-‘aql aqaa’idii) harus diimbangi dengan pemahaman terhadap problem manusia (pembebasan manusia) supaya ritual ibadah dalam puasa berjalan seimbang.
Keseimbangan antara dimensi ketuhanan dan kemanusiaan dalam praktik puasa merupakan salah satu cita-cita agama. Pada mulanya, agama hadir dengan misi menyejahterahkan manusia. Tentu saja, agama tidak bisa tinggal diam ketika melihat realitas sosial yang memrihatinkan.
Said Agil Siraj menegaskan bahwa Islam mengharuskan manusia untuk selalu berperilaku sesuai dengan sisi kemanusiaan. Manusia dimotivasi untuk terus melakukan perubahan ke arah yang lebih prospektif, yaitu perubahan masyarakat.
Idealisme inilah yang disebut maqashidus syari’ah, yaitu standar ideal pencapaian kesejahteraan bagi seluruh manusia yang meliputi dimensi fisik dan nonfisik, materi dan nonmateri. Dari upaya ini diharapkan ruh kesejahteraan manusia dapat dihidupkan.
Jika praktik berpuasa mengandung niat dan pemahaman sosial seperti di atas, puasa pada tahapan selanjutnya akan menjadi pembelajaran spiritual menuju keseimbangan ibadah. Kita akan mereduksi, bahkan menghabisi, pola-pola ibadah yang melulu bermuara pada singgasana Tuhan. Puasa diharapkan supaya pelaku mampu menjalankan ibadah dengan seimbang.
Dalam kehidupan sehari-hari, keseimbangan beribadah merupakan sebuah keniscayaan. Agama akan terasa cacat jika salah satu aspek, ketuhanan maupun kemanusiaan, dihilangkan. Seperti kasus pengeboman yang terjadi di Hotel Ritz-Carlton dan JW Marriott di Jakarta 17 Juli lalu. Inilah contoh konkret praktik ibadah yang terbingkai rapi dalam satu aspek, nalar teologis.
Atas nama agama, pelaku menamakan bom bunuh diri ini sebagai upaya Jihad. Dalam kasus ini, jihad bisa membenarkan orang yang dianggap kafir atau murtad dibunuh, darahnya halal. Beriringan dengan itu, ada tafsir lain yang mengatakan bahwa jihad bukanlah kekerasan.
Goenawan Mohammad dalam salah satu catatan pinggirnya, Si Buntung, menegaskan bahwa siapa yang melihat hubungan antara terorisme dan ajaran, bahkan ideologi, melupakan bahwa ada sesuatu yang lebih dahulu dan lebih bisu, ketimbang ajaran dan ideologi; yaitu luka.
Agama Islam merupakan salah satu agama yang mendambakan rahmat bagi semseta alam yang di dalamnya hidup beraneka makhluk Tuhan. Jika ibadah dalam Islam dijalankan menggunakan lokomotif ketuhanan, pada gilirannya akan melahirkan potret negatif; seperti kasus bom bunuh diri di atas.
Sebuah Kemenangan
Berangkat dari pemahaman bahwa agama diturunkan atas nama kesejahteraan manusia, tentu saja, agama diharapkan mampu mengangkat harkat, martabat, dan selalu memayungi hak asasi manusia. Melalui kesempatan puasa, kita harus bisa berbagi hati dengan sesama. Kita tidak melulu dituntut untuk merasakan lapar dan dahaga, tapi juga diharapkan untuk memerhatikan penderitaan manusia.
Zakariya al-Anshari dalam Tuhfah al-Tullab mendefinisikan puasa sebagai upaya menahan diri dari segala sesuatu yang membatalkan puasa dengan cara yang telah ditentukan. Sederhananya, melalui “cara yang telah ditentukan” kita tidak hanya mengambil pelajaran dari upaya menahan lapar dan dahaga. Kita juga dituntut untuk lebih berempati terhadap sesama manusia. Merasakan keseulitan dan kekerasan hidup yang dijalani saudara kita yang lain.
Aspek kemanusiaan inilah yang akan terus diajarkan dan disebarluaskan umat beragama. Dengan spirit ini, umat manusia bisa saling menghormati, saling menghargai, toleransi, hidup damai, dan harmonis.
Nilai-nilai kemanusian seharusnya mewarnai kehidupan sosial-keagamaan. Melalui puasa, seharusnya kita mampu melahirkan keseimbangan beribadah. Dengan demikian, setiap laku ibadah kita tidak hanya terangkum dalam simbolisme agama, tetapi lebih mencerminkan dimensi kemanusiaan.
Puasa diwajibkan bagi yang melakukannya supaya lebih bertakwa. Bagi siapa yang menjalankan ibadah puasa dengan niat tulus dan perasaan ikhlas, serta mampu menjaga keseimbangan ibadah ketuhanan dan kemanusiaan, niscaya Tuhan akan menyucikan kita seperti bayi yang baru kali pertama menangis ke dunia, idul fitri.
Idul fitri merupakan salah satu simbol diakhirinya puasa Ramadan. Pesta kemenangan umat muslim seusai menjalankan ibadah puasa selama satu bulan. Kita kembali suci seperti tabula rasa-nya John Locke. Kesalahan kita dengan Tuhan langsung dihapus, terlebih jika kita juga melakukan puasa enam hari di bulan syawal.
Bagaimana dengan kesalahan-kesalahan kita dengan sesama manusia? Tentu saja tidak serta merta mendapat maaf jika kita tidak meminta maaf. Nah, spirit keseimbangan beribadah yang telah menciptakan khusuk beribadah kepada Tuhan dan melahirkan sikap saling menghormati antarsesama, toleransi, hidup rukun, dan harmonis akan memudahkan kita menerima kenyataan dengan tulus dan ikhlas.
Jika sikap kemanusiaan (baca; pembebasan manusia) sudah dapat kita rengkuh dalam nalar keseimbangan beribadah (puasa), sikap saling merindu dan memaafkan akan menjadi keniscayaan. Bahkan, makna kemenangan akan lebih indah jika kita juga menyempatkan diri membantu dan membahagiakan orang lain; memberi suguhan pada tamu, menyantuni orang fakir, dan semacamnya.
Dengan spirit beribadah kepada Tuhan dan mengindahkan dimensi kemanusiaan tanpa sarat, kita akan mendapatkan kemenangan itu dengan sebenar-benarnya. Semoga!
Dalam perjalanannya, bulan yang ditunggu umat muslim ini selalu dihiasi dengan beragam ritual agama. Dari santap sahur, hingga salat sunnah tarawih dan witir, dan seterusnya. Pada tahapan selanjutnya hal ini diharapkan mampu meningkatkan kadar keimanan dan ketakwaan umat Islam.
Inilah fenomena khusuk puasa yang bisa diamati di sekitar kita. Praktik puasa selalu mendekati ibadah-ibadah ketuhanan. Pemaknaan puasa yang sarat dengan ritual dan simbolisme agama justru akan memberi warna hitam pada agama. Sebab, sejatinya puasa sendiri memiliki keseimbangan antara aspek ketuhanan (theosentris) dan kemanusiaan (antroposentris).
Kita semua berharap, dalam ibadah puasa, hubungan manusia dengan Tuhannya dan hubungan sesama manusia terjalin harmonis. Mendefinisikan makna puasa secara theosentris merupakan pemahaman yang sempit. Nalar keagaamaan yang sempit bisa dilihat dari pemusatan aktivitas dan segala persoalan pada Tuhan, tanpa mengindahkan harkat, martabat, dan problem kemanusiaan.
Mengedepankan nalar beragama yang sempit dalam berpuasa tanpa menghiraukan aspek-aspek sosial hanya akan membawa agama ke dalam muara pragmatis. Manusia hanya diberi harapan bahwa kelak jika mereka tuntas dengan baik menjalani ujian agama, mereka akan mendapatkan pahala dan surga tanpa ada perhatian pada aspek kemanusiaan.
Keseimbangan Berpuasa
Mohammad Arkoun dalam Al-Fikrul Islaamy; Naqd wa Ijtihaad menjelaskan bahwa kuatnya model “nalar teologis” (al-‘aql aqaa’idii) harus diimbangi dengan pemahaman terhadap problem manusia (pembebasan manusia) supaya ritual ibadah dalam puasa berjalan seimbang.
Keseimbangan antara dimensi ketuhanan dan kemanusiaan dalam praktik puasa merupakan salah satu cita-cita agama. Pada mulanya, agama hadir dengan misi menyejahterahkan manusia. Tentu saja, agama tidak bisa tinggal diam ketika melihat realitas sosial yang memrihatinkan.
Said Agil Siraj menegaskan bahwa Islam mengharuskan manusia untuk selalu berperilaku sesuai dengan sisi kemanusiaan. Manusia dimotivasi untuk terus melakukan perubahan ke arah yang lebih prospektif, yaitu perubahan masyarakat.
Idealisme inilah yang disebut maqashidus syari’ah, yaitu standar ideal pencapaian kesejahteraan bagi seluruh manusia yang meliputi dimensi fisik dan nonfisik, materi dan nonmateri. Dari upaya ini diharapkan ruh kesejahteraan manusia dapat dihidupkan.
Jika praktik berpuasa mengandung niat dan pemahaman sosial seperti di atas, puasa pada tahapan selanjutnya akan menjadi pembelajaran spiritual menuju keseimbangan ibadah. Kita akan mereduksi, bahkan menghabisi, pola-pola ibadah yang melulu bermuara pada singgasana Tuhan. Puasa diharapkan supaya pelaku mampu menjalankan ibadah dengan seimbang.
Dalam kehidupan sehari-hari, keseimbangan beribadah merupakan sebuah keniscayaan. Agama akan terasa cacat jika salah satu aspek, ketuhanan maupun kemanusiaan, dihilangkan. Seperti kasus pengeboman yang terjadi di Hotel Ritz-Carlton dan JW Marriott di Jakarta 17 Juli lalu. Inilah contoh konkret praktik ibadah yang terbingkai rapi dalam satu aspek, nalar teologis.
Atas nama agama, pelaku menamakan bom bunuh diri ini sebagai upaya Jihad. Dalam kasus ini, jihad bisa membenarkan orang yang dianggap kafir atau murtad dibunuh, darahnya halal. Beriringan dengan itu, ada tafsir lain yang mengatakan bahwa jihad bukanlah kekerasan.
Goenawan Mohammad dalam salah satu catatan pinggirnya, Si Buntung, menegaskan bahwa siapa yang melihat hubungan antara terorisme dan ajaran, bahkan ideologi, melupakan bahwa ada sesuatu yang lebih dahulu dan lebih bisu, ketimbang ajaran dan ideologi; yaitu luka.
Agama Islam merupakan salah satu agama yang mendambakan rahmat bagi semseta alam yang di dalamnya hidup beraneka makhluk Tuhan. Jika ibadah dalam Islam dijalankan menggunakan lokomotif ketuhanan, pada gilirannya akan melahirkan potret negatif; seperti kasus bom bunuh diri di atas.
Sebuah Kemenangan
Berangkat dari pemahaman bahwa agama diturunkan atas nama kesejahteraan manusia, tentu saja, agama diharapkan mampu mengangkat harkat, martabat, dan selalu memayungi hak asasi manusia. Melalui kesempatan puasa, kita harus bisa berbagi hati dengan sesama. Kita tidak melulu dituntut untuk merasakan lapar dan dahaga, tapi juga diharapkan untuk memerhatikan penderitaan manusia.
Zakariya al-Anshari dalam Tuhfah al-Tullab mendefinisikan puasa sebagai upaya menahan diri dari segala sesuatu yang membatalkan puasa dengan cara yang telah ditentukan. Sederhananya, melalui “cara yang telah ditentukan” kita tidak hanya mengambil pelajaran dari upaya menahan lapar dan dahaga. Kita juga dituntut untuk lebih berempati terhadap sesama manusia. Merasakan keseulitan dan kekerasan hidup yang dijalani saudara kita yang lain.
Aspek kemanusiaan inilah yang akan terus diajarkan dan disebarluaskan umat beragama. Dengan spirit ini, umat manusia bisa saling menghormati, saling menghargai, toleransi, hidup damai, dan harmonis.
Nilai-nilai kemanusian seharusnya mewarnai kehidupan sosial-keagamaan. Melalui puasa, seharusnya kita mampu melahirkan keseimbangan beribadah. Dengan demikian, setiap laku ibadah kita tidak hanya terangkum dalam simbolisme agama, tetapi lebih mencerminkan dimensi kemanusiaan.
Puasa diwajibkan bagi yang melakukannya supaya lebih bertakwa. Bagi siapa yang menjalankan ibadah puasa dengan niat tulus dan perasaan ikhlas, serta mampu menjaga keseimbangan ibadah ketuhanan dan kemanusiaan, niscaya Tuhan akan menyucikan kita seperti bayi yang baru kali pertama menangis ke dunia, idul fitri.
Idul fitri merupakan salah satu simbol diakhirinya puasa Ramadan. Pesta kemenangan umat muslim seusai menjalankan ibadah puasa selama satu bulan. Kita kembali suci seperti tabula rasa-nya John Locke. Kesalahan kita dengan Tuhan langsung dihapus, terlebih jika kita juga melakukan puasa enam hari di bulan syawal.
Bagaimana dengan kesalahan-kesalahan kita dengan sesama manusia? Tentu saja tidak serta merta mendapat maaf jika kita tidak meminta maaf. Nah, spirit keseimbangan beribadah yang telah menciptakan khusuk beribadah kepada Tuhan dan melahirkan sikap saling menghormati antarsesama, toleransi, hidup rukun, dan harmonis akan memudahkan kita menerima kenyataan dengan tulus dan ikhlas.
Jika sikap kemanusiaan (baca; pembebasan manusia) sudah dapat kita rengkuh dalam nalar keseimbangan beribadah (puasa), sikap saling merindu dan memaafkan akan menjadi keniscayaan. Bahkan, makna kemenangan akan lebih indah jika kita juga menyempatkan diri membantu dan membahagiakan orang lain; memberi suguhan pada tamu, menyantuni orang fakir, dan semacamnya.
Dengan spirit beribadah kepada Tuhan dan mengindahkan dimensi kemanusiaan tanpa sarat, kita akan mendapatkan kemenangan itu dengan sebenar-benarnya. Semoga!
Comments :
Posting Komentar
Saran, kritik dan komentar anda akan sangat membantu kami dalam mengembangkan web blog ini. Terimakasih