Mengajari Anak Bertanggungjawab

Berbincang mengenai anak dan bagaimana menjadikan mereka berguna di kehidupan dewasanya kelak, sangat tepat bila mengajak Shahnaz Haque, duta PBB untuk urusan anak.

Edisi kali ini, Al Madinah mengajak pembaca untuk menyimak perbincangan redaksi dengan penulis buku, Promotion Executive di Madania Progressive Indonesian School, artis, bintang iklan, istri drummer Gilang Ramadhan, dan ibu dari tiga anak tersebut dengan tema peran teknologi dan lingkungan dalam mendidik anak.

Perkembangan Iptek memasuki era baru setelah ditemukannya teknologi SMS (Short Message Service), anak juga terkena imbas teknologi ini. Jika sebelumnya, orangtua dapat mengontrol pergaulan putra-putrinya (termasuk menyeleksi teman bergaul buah hatinya), dengan siapa saja mereka berkomunikasi, kini tak semudah sebelumnya. Anak dapat menghubungi siapa pun melalui HP-nya. Menurut Mbak, bagaimakah kita para orangtua seharusnya bersikap?

Mengapa kemajuan teknologi selalu dimusuhi para orangtua? Menurut saya, selama komunikasi dengan buah hati bisa berjalan baik, apa pun bisa dihadapi dengan hati yang tenang. Jika tidak, sebagai orangtua akan selalu merasa was-was dan bersikap selalu bagaikan polisi dan buah hati bagaikan terdakwa yang selalu harus dicurigai. Itu hubungan yang tidak sehat! Kalau sekarang panik soal HP,besok soal pornografi, lusa tentang yang lainnya.

Kapan kita mengajarkan anak untuk bertanggungjawab dengan apa yang diperbuat? Mengenai pertemanan buah hati, yang perlu kita lakukan adalah memberikan fondasi mana yang baik sekaligus sebaliknya. Kenalkan juga resiko yang terjadi apabila mereka memilih jalan yang salah.

Seorang ibu adalah madrasah pertama bagi anak. Ingatlah terlahir sebagai perempuan itu takdir, menikah adalah ibadah, mempunyai anak merupakan anugerah, menjadi ibu yang mampu mendidik adalah sebuah pilihan. Seperti halnya hidup anak-anak kita dari arah mana mereka akan berjalan hingga menuju satu titik. Semoga jalan yang mereka pilih benar, jika diberi bekal yang baik.

Allah telah memberikan keleluasaan kepada mereka untuk memilih takdir yang lebih baik. Ajarkan mereka untuk memilih teman dengan bekal pesan dari Rasul, kalau berteman dengan penjual parfume akan ikut wangi kalau dengan pandai besi akan hitam muka kita atau paling tidak bolong bajunya. Pilihan ada di tangan mereka.

Kehadiran lingkungan, termasuk teman, keluarga, dan guru, sangat memengaruhi sikap dan perilaku anak. Bahkan pada tingkatan tertentu, anak lebih ‘mendengarkan’ apa kata lingkungan dibandingkan petuah orangtuanya. Di era hi-tech ini, konsep pendidikan yang bagaimanakah yang paling tepat untuk menempatkan anak tetap pada track yang positif?

Sebenarnya terjawab di jawaban sebelumnya. Kalau pun saya ingin menambahkan, saya jadi bingung kenapa anak lebih mendengarkan lingkungan luar dibandingkan orangtuanya? Jawabannya pasti karena cara bicara orangtuanya sangat membosankan. Dan bentuk komunikasinya pasti hanya berisi perintah yang berulang terus menerus. Bisa dipahami jika mereka lebih senang dengan suasana segar di luar rumah yang membuat mereka merasa diakui keberadaannya dan lebih didengar pendapatnya.

Jadi para orangtua harus berintrospeksi lebih dahulu.Atur strategi agar bisa jadi sahabat bagi buah hatinya. Dengarkan mereka, pakailah kaca mata anak sewaktu bicara dengan anak. Jangan merasa lebih TAU karena merasa lebih TUA. Banyak hal yang bisa diselesaikan dengan mengubah diri menjadi lebih baik agar menghadirkan generasi selanjutnya yang menjadi rahmat semesta alam.

Tak sedikit kasus anak yang berbuat asusila karena meniru lingkungan, seperti diberitakan di koran-koran harian nasional. Boleh jadi, dalam lingkungan keluarga mereka ‘aman’ dari serangan ‘perusak’. Perlukah anak usia sekolah diajarkan/diberitahu tentang ’kejamnya’ dunia luar sehingga mereka waspada? Ataukah cara ini justru meracuni anak dengan mengesankan betapa dunia ini tidak aman dan tidak menyenangkan bagi mereka?

Banyak anak diperkosa, diculik, dianiaya karena kita tidak membekali mereka bagaimana melindungi diri mereka sendiri. Seperti halnya anak tidak diajarkan cara berteriak atau menolak apabila ada orang asing dengan maksud jahat sedang mengincar mereka. Jadi menurut saya, ceritakan apa adanya, tapi yang proporsional. Jangan berlebihan. Kita tidak mau mereka tumbuh menjadi anak paranoid bukan?

Ceritakan dengan suasana santai, dan coba tanya bagaimana perasaan mereka. Agar kita juga tahu bagaimana kesiapan anak menghadapi situasi yang berbahaya. Tapi jangan kebanyakan nonton berita yang penuh kekerasan. Karena pada dasarnya itu bukan tontonan yang layak buat mereka. Dampingi mereka, bimbing mereka, siapkan mereka menghadapi situasi yang bahaya.

Namun yang penting anak juga harus disiapkan untuk bersikap responsif dan kreatif jika mereka melihat ada orang yang butuh bantuan. Jangan hanya bisa jadi penonton saja. Ingatlah pengambil keputusan akan berbuat yang terbaik dan mempersiapkan yang terburuk.

Mendewasakan anak, ada kalanya dengan mengenalkan/melibatkan anak pada konflik tertentu. Misalnya diminta memberi pendapat tentang suatu pertentangan dalam keluarga. Sebaiknya, di manakah posisi anak ketika diajarkan tentang pentingnya menyelesaikan konflik? Sebagai pemainkah-sehingga mereka memiliki keterampilan memutuskan suatu perkara dan terlibat secara emosi, ataukah hanya murni sebagai penonton dan diminta untuk berbuat ideal?

Tentunya sebagai pemain! Perlu ditekankan, argumentasi berbeda dengan Berkelahi!! Sehingga anak kita terlatih mengungkapkan isi pikiran, legowo menghadapi perbedaan, serta tahu bagaimana mencari titik temu. Belakangan kita sering menemukan generasi muda yang pintar dari segi otak, tapi tidak cerdas emosi. Hal ini disebabkan ketidakmampuannya dalam menghadapi perbedaan. Jadi menurut saya, lebih baik bila tingkat IQ-nya biasa saja, tapi memiliki sikap organisatoris. Kemampuan ini akan menggiring anak menjadi pemimpin di tengah aneka perbedaan.

Mengajari anak menjadi pribadi yang mandiri tentu dapat dilakukan sejak balita. Namun tentu disesuaikan dengan kemampuan dan usianya. Bagaimana pola ideal pendidikan ini jika dilakukan dalam lingkungan keluarga? Aspek motorik terlebih dahulu? Atau sisi afeksinya?

Menurut saya keduanya. Stimulus yang banyak, membuat balita kita berkembang, karena itulah masa golden age yang tidak akan terulang kembali. Jadi berilah rangsangan sebanyak-banyaknya sehingga mereka dapat mengasah potensi mereka sejak dini. Ada 8 kecerdasan anak. Dan masing-masing kecerdasan itu akan kuat jika terus menerus dilatih. Untuk lebih jelas bagaimana caranya, tentu harus dijelaskan oleh ahlinya, bukan saya, agar ilmu yang didapat langsung bisa diaplikasikan oleh para pembaca.

(SR. Jannah)

Comments :

0 komentar to “Mengajari Anak Bertanggungjawab”

Posting Komentar

Saran, kritik dan komentar anda akan sangat membantu kami dalam mengembangkan web blog ini. Terimakasih

 

koleksi

koleksi

Redaksi

Ketua Pengarah: M. Arif Junaidi. Penanggungjawab: Syarif Thayib (Ketua Yayasan Al Madinah).
­Redaktur Ahli: dr. Muhammad Thohir, Sp.Kj., Ahmad Faiz Zainuddin, S.Psi, Masuki M. Astro, Siti Raudlatul Jannah, S.Ag . Pemimpin Umum: Izzuddin Al Anshary. Pemimpin Redaksi: M. Syafiq Syeirozi. Redaktur Pelaksana: A. Suud Fuadi. Dewan Redaksi: Helmi Jauhari, A. Fathul Hudi. Distributor: Syafi’uddin. Kontributor Edisi ini: Aura Azzahra. Desain/Layout: Abd. Rokhman
Alamat Redaksi: Grha Aitam, Jl. Bratang Binangun IX/25-27 Surabaya. Telepon/Faksimile: (031) 5019424 / 5022212. ­E-Mail: redaksimadinah@yahoo.com. Web Blog: majalah-madinah.blogspot.com