Anna Rohana kini telah berumur enam puluh tujuh (67) tahun. Di usia lanjutnya, ia patut berbangga. Pasalnya, dari rahimnya, dan berkat sentuhan kasih perempuan Sunda itu, lahir anak-anak berprestasi yang terus berkarya untuk bangsa melalui ESQ Ways 165 (Ihsan [1], Iman [6], Islam [5]), sebuah wadah yang sangat peduli dengan pengembangan sumber daya manusia melalui pengasahan kecerdasan emosional dan spiritual. Pernikahannya dengan Abdul Rohim, jejaka asal Palembang, pada 4 Juni 1964, membuahkan 4 anak. Salah satunya adalah Ary Ginanjar Agustian, penemu dan pengembang Emotional Spiritual Quotien (ESQ) Power.
Tahukah Anda jika Master Trainer ESQ itu dulu adalah anak paling bandel dibanding buah-buah cinta Abdul Rohim dan Anna Rohana lain? Sejak kecil ia bukan anak yang mau menuruti begitu saja apa yang diperintahkan orang tuanya. Menginjak remaja, kebut-kebutan di jalan raya adalah hobinya. Namun mengapa Ary Ginanjar kini menjelma menjadi sosok pengusaha dan intelektual muda sukses yang mampu melahirkan karya fenomenal dan bermanfaat besar bagi bangsa?
Anna Rohana atau yang sekarang lebih akrab dipanggil Oma Anna Rahim menjawabnya, "Banyak anak yang tampak nakal malah benar-benar gagal menjadi orang baik saat mereka dewasa karena cara orang tua mereka salah dalam menyikapi kenakalannya. Jika si anak terlihat tak bisa diatur serta memberontak, kita tidak boleh mencap mereka dengan stigma-stigma buruk dan mengucilkan mereka. Yang seharusnya kita lakukan justru merangkul serta memberi keyakinan bahwa sebenarnya mereka anak yang baik dan kelak akan menjadi orang sukses."
Ary kecil, dalam pandangan sang ibu, bukanlah anak penurut. Saat disuruh belajar mengaji, ada saja alasan yang dikemukakan, sakit perut, haus, dan lainnya. Begitupun ketika diperintahkan salat, si Aa', demikian panggilan sayang orang tua untuk Ary, malah bertanya, "untuk apa sih salat itu?" Ada satu peristiwa yang masih membekas di ruang memori Anna hingga kini. Suatu kali di masjid perumahan diadakan pengajian dalam rangka peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw. Sang Ayah, Abdul Rohim dan semua anaknya sudah berangkat ke masjid, kecuali Ary Ginanjar Agustian.
Melihat putra sulungnya belum beranjak dari tempat duduknya, Anna Rahim yang berprofesi sebagai perawat di usia mudanya, menghardik putra sulungnya itu dengan halus, "A', kok belum ke masjid? Ayo lekas berangkat." Namun Ary tetap diam di tempat. Ia berargumen bahwa acara itu cuma diisi dengan makan-makan, shalawatan, baca sejarah Nabi, tapi besoknya sudah lupa sama Nabi.
Karena menganggap si Aa’ hanya berdalih untuk menutupi kemalasannya, Anna jengkel. Saking kesalnya, ia menyabet kaki Ary dengan pedang-pedangan plastik, tapi dengan cekatan si sulung itu menghindarnya. Alumnus Sekolah Pengatur Rawat Bandung itu pun berhenti. Tak lama kemudian pedang plastik itu justru direbut Ary dan balik disabetkan ke sang ibu sambil tertawa.
“Saat itulah saya berpikir bahwa anak memang tidak ingin dipaksa dan diperlakukan kasar. Dengan balik memukul, berarti dia merasa tidak senang atas tindakan saya. Saya merenung, sebagai orang tua kita memang seringkali berprasangka negatif pada anak. Ketika membantah mungkin ia hanya ingin tahu dan meminta penjelasan sebab tidak mau asal ikut-ikutan,” kenang Anna.
Kasih Tak Berbatas
Dalam pemikiran Anna, yang paling penting dalam proses pendidikan anak adalah hubungan antarindividu dalam lingkungan. Suasana penuh kasih sayang tentu sangat kondusif bagi perkembangan kejiwaan anak dan dampaknya akan terlihat hingga dewasa. “Kita harus menjaga agar anak senantiasa aman dan tidak merasa terancam. Salah satunya dengan mengendalikan amarah pada anak. Jika orang tua marah maka auranya akan membuat suasana penuh emosi negatif,” demikian menurut ibu yang gemar menonton film saat muda.
Ketika Ary duduk di bangku SMA, sang orang tua kerap mendapat panggilan dari pihak sekolah akibat perilaku nakalnya, dari kebut-kebutan sampai menyalakan petasan di dalam kelas. Ada kisah lucu yang diingat sang ibunda berkaitan dengan hobi kebut-kebutan pria kelahiran Bandung 24 Maret 1965 itu. Ketika pulang sekolah, si Aa’ menggerutu, “Brengsek Redi, turung nggak bilang-bilang.” Tak lama kemudian telepon berdering, ternyata pemberitahuan dari rumah sakit bahwa si Ari memboncengkan temannya sampai terjatuh. Ternyata, saking cepatnya mengendarai sepeda motor, Ari tidak sadar kalau temannya terjatuh.
Bagi orang tua yang tidak sabar, tingkah polah di atas mungkin memicu sumpah serapah. Tetapi tidak bagi Abdul Rohim-Anna. Ketika Ary kecelakaan dan harus opname di rumah sakit, Anna hanya bilang, “Makanya A’, kalau negebut hati-hati.” Sebagai orang tua mereka berdua tetap memberi perhatian dan melimpahinya kasih sayang meskipun banyak tingkah Ary yang dalam pandangan umum dikatakan nakal. Dengan tidak memarahinya, si sulung yang kemudian menjadi atlet karate nasional itu, tetap menjadikan rumah sebagai tempat kembali dan orang tuanya sebagai curahan hati.
“Apa pun tingkah lakunya kami berusaha sabar dan memperbanyak doa sehingga mampu mendidiknya. Sebuah proses pendewasaan bila disikapi dengan sabar dan penuh kasih akan menimbulkan kesadaran untuk berubah dengan sukarela, bukan terpaksa. Berangkat dari pengalaman itu, saya menyimpulkan, sebagai orang tua, kita jangan terlalu cepat mengatakan, ‘Aduh anak saya bandel sekali, mau jadi apa dia!’ karena itu bentuk pesimisme,” urai Anna panjang lebar.
Ibu dari lima anak itu menyarankan agar seluruh orang tua mau berintrospeksi dan mengambil pelajaran dari sikap anak yang nakal. Orang tua harus menghindari kata-kata yang menyumpahi anaknya, sebandel apa pun dia, karena bisa menjadi kenyataan. “Kita harus memiliki stok kasih sayang tak terbatas bagi anak. Memberi perhatiandan dukungan, mengarahkan tanpa memaksanya, hingga saatnya nanti dia akan sadar dan berbalik menyayangi kedua oarang tuanya,” terangnya.
Seiring waktu, Ary Ginanjar diterima di Universitas Udayana, Bali, dan melanjutkan kuliah pascasarjana di Tafe College, Adelaide, South Australia. Dalam perjalanan kariernya, ia sempat menjadi dosen dan kemudian beralih menjadi pebisnis ulet dan berhasil. Pendalamannya terhadap agama melahirkan konsep Emotional and Spiritual Quotient (ESQ), sebuah pemikiran yang menguak adanya korelasi kuat antara dunia usaha, profesionalisme dan manajemen modern, dengan intisari Islam Iman, Islam, dan Ihsan.
“Kami menyadari bahwa kenakalan Ary dulu merupakan pelepasan energi karena semangat dan energinya yang berlimpah. Hobinya yang beresiko tinggi adalah latihan baginya karena profesinya sekarang sebagai pebisnis memerlukan keberanian tinggi.” tandas Anna. Intinya, tidak perlu tergesa-gesa menyimpulkan tingkah polah anak.
(Oleh Syafiq dengan mengutip dan mengolah dari Ida S. Widayanti, Untuk Anak-anakku, Masyarakat, dan Dunia. Sebuah Perjalanan Mengantar Anak-anak Mewujudkan Dunia Emas. Pengalaman Oma Anna Rahim [Ibunda Ary Ginanjar Agustian], Arga Publishing, 2008)
Tahukah Anda jika Master Trainer ESQ itu dulu adalah anak paling bandel dibanding buah-buah cinta Abdul Rohim dan Anna Rohana lain? Sejak kecil ia bukan anak yang mau menuruti begitu saja apa yang diperintahkan orang tuanya. Menginjak remaja, kebut-kebutan di jalan raya adalah hobinya. Namun mengapa Ary Ginanjar kini menjelma menjadi sosok pengusaha dan intelektual muda sukses yang mampu melahirkan karya fenomenal dan bermanfaat besar bagi bangsa?
Anna Rohana atau yang sekarang lebih akrab dipanggil Oma Anna Rahim menjawabnya, "Banyak anak yang tampak nakal malah benar-benar gagal menjadi orang baik saat mereka dewasa karena cara orang tua mereka salah dalam menyikapi kenakalannya. Jika si anak terlihat tak bisa diatur serta memberontak, kita tidak boleh mencap mereka dengan stigma-stigma buruk dan mengucilkan mereka. Yang seharusnya kita lakukan justru merangkul serta memberi keyakinan bahwa sebenarnya mereka anak yang baik dan kelak akan menjadi orang sukses."
Ary kecil, dalam pandangan sang ibu, bukanlah anak penurut. Saat disuruh belajar mengaji, ada saja alasan yang dikemukakan, sakit perut, haus, dan lainnya. Begitupun ketika diperintahkan salat, si Aa', demikian panggilan sayang orang tua untuk Ary, malah bertanya, "untuk apa sih salat itu?" Ada satu peristiwa yang masih membekas di ruang memori Anna hingga kini. Suatu kali di masjid perumahan diadakan pengajian dalam rangka peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw. Sang Ayah, Abdul Rohim dan semua anaknya sudah berangkat ke masjid, kecuali Ary Ginanjar Agustian.
Melihat putra sulungnya belum beranjak dari tempat duduknya, Anna Rahim yang berprofesi sebagai perawat di usia mudanya, menghardik putra sulungnya itu dengan halus, "A', kok belum ke masjid? Ayo lekas berangkat." Namun Ary tetap diam di tempat. Ia berargumen bahwa acara itu cuma diisi dengan makan-makan, shalawatan, baca sejarah Nabi, tapi besoknya sudah lupa sama Nabi.
Karena menganggap si Aa’ hanya berdalih untuk menutupi kemalasannya, Anna jengkel. Saking kesalnya, ia menyabet kaki Ary dengan pedang-pedangan plastik, tapi dengan cekatan si sulung itu menghindarnya. Alumnus Sekolah Pengatur Rawat Bandung itu pun berhenti. Tak lama kemudian pedang plastik itu justru direbut Ary dan balik disabetkan ke sang ibu sambil tertawa.
“Saat itulah saya berpikir bahwa anak memang tidak ingin dipaksa dan diperlakukan kasar. Dengan balik memukul, berarti dia merasa tidak senang atas tindakan saya. Saya merenung, sebagai orang tua kita memang seringkali berprasangka negatif pada anak. Ketika membantah mungkin ia hanya ingin tahu dan meminta penjelasan sebab tidak mau asal ikut-ikutan,” kenang Anna.
Kasih Tak Berbatas
Dalam pemikiran Anna, yang paling penting dalam proses pendidikan anak adalah hubungan antarindividu dalam lingkungan. Suasana penuh kasih sayang tentu sangat kondusif bagi perkembangan kejiwaan anak dan dampaknya akan terlihat hingga dewasa. “Kita harus menjaga agar anak senantiasa aman dan tidak merasa terancam. Salah satunya dengan mengendalikan amarah pada anak. Jika orang tua marah maka auranya akan membuat suasana penuh emosi negatif,” demikian menurut ibu yang gemar menonton film saat muda.
Ketika Ary duduk di bangku SMA, sang orang tua kerap mendapat panggilan dari pihak sekolah akibat perilaku nakalnya, dari kebut-kebutan sampai menyalakan petasan di dalam kelas. Ada kisah lucu yang diingat sang ibunda berkaitan dengan hobi kebut-kebutan pria kelahiran Bandung 24 Maret 1965 itu. Ketika pulang sekolah, si Aa’ menggerutu, “Brengsek Redi, turung nggak bilang-bilang.” Tak lama kemudian telepon berdering, ternyata pemberitahuan dari rumah sakit bahwa si Ari memboncengkan temannya sampai terjatuh. Ternyata, saking cepatnya mengendarai sepeda motor, Ari tidak sadar kalau temannya terjatuh.
Bagi orang tua yang tidak sabar, tingkah polah di atas mungkin memicu sumpah serapah. Tetapi tidak bagi Abdul Rohim-Anna. Ketika Ary kecelakaan dan harus opname di rumah sakit, Anna hanya bilang, “Makanya A’, kalau negebut hati-hati.” Sebagai orang tua mereka berdua tetap memberi perhatian dan melimpahinya kasih sayang meskipun banyak tingkah Ary yang dalam pandangan umum dikatakan nakal. Dengan tidak memarahinya, si sulung yang kemudian menjadi atlet karate nasional itu, tetap menjadikan rumah sebagai tempat kembali dan orang tuanya sebagai curahan hati.
“Apa pun tingkah lakunya kami berusaha sabar dan memperbanyak doa sehingga mampu mendidiknya. Sebuah proses pendewasaan bila disikapi dengan sabar dan penuh kasih akan menimbulkan kesadaran untuk berubah dengan sukarela, bukan terpaksa. Berangkat dari pengalaman itu, saya menyimpulkan, sebagai orang tua, kita jangan terlalu cepat mengatakan, ‘Aduh anak saya bandel sekali, mau jadi apa dia!’ karena itu bentuk pesimisme,” urai Anna panjang lebar.
Ibu dari lima anak itu menyarankan agar seluruh orang tua mau berintrospeksi dan mengambil pelajaran dari sikap anak yang nakal. Orang tua harus menghindari kata-kata yang menyumpahi anaknya, sebandel apa pun dia, karena bisa menjadi kenyataan. “Kita harus memiliki stok kasih sayang tak terbatas bagi anak. Memberi perhatiandan dukungan, mengarahkan tanpa memaksanya, hingga saatnya nanti dia akan sadar dan berbalik menyayangi kedua oarang tuanya,” terangnya.
Seiring waktu, Ary Ginanjar diterima di Universitas Udayana, Bali, dan melanjutkan kuliah pascasarjana di Tafe College, Adelaide, South Australia. Dalam perjalanan kariernya, ia sempat menjadi dosen dan kemudian beralih menjadi pebisnis ulet dan berhasil. Pendalamannya terhadap agama melahirkan konsep Emotional and Spiritual Quotient (ESQ), sebuah pemikiran yang menguak adanya korelasi kuat antara dunia usaha, profesionalisme dan manajemen modern, dengan intisari Islam Iman, Islam, dan Ihsan.
“Kami menyadari bahwa kenakalan Ary dulu merupakan pelepasan energi karena semangat dan energinya yang berlimpah. Hobinya yang beresiko tinggi adalah latihan baginya karena profesinya sekarang sebagai pebisnis memerlukan keberanian tinggi.” tandas Anna. Intinya, tidak perlu tergesa-gesa menyimpulkan tingkah polah anak.
(Oleh Syafiq dengan mengutip dan mengolah dari Ida S. Widayanti, Untuk Anak-anakku, Masyarakat, dan Dunia. Sebuah Perjalanan Mengantar Anak-anak Mewujudkan Dunia Emas. Pengalaman Oma Anna Rahim [Ibunda Ary Ginanjar Agustian], Arga Publishing, 2008)
MATHEMATICAL EXPRESSIONS OF SPIRITUAL QUOTIENT
I.Q., E.Q.,& S.Q. and Practice of Yoga
Religion and Yoga reflect identical meaning. Religion (re-ligare) means union again with Ultimate Reality or binding back to Absolute. Yoga is the derivative of Sanskrit root ‘yuj’ which means yoking of power of body, mind and soul. Yoga primarily consists of concentration, meditation and realization apart from practicing asans, mudras and breath control which help to achieve concentration and physical and emotional well-being. Yoga is experimental technique of spiritualism. Religion is blend of ritual and spiritual. Rituals dominate religion these days. Whereas rituals are altogether not necessary for practicing yoga.
Yoga in India has been practiced since the dawn of the human civilization, according to Hindu mythology millions of year back.
In Bhagavad-Gita Lord SriKrishna says to Arjuna:
“I taught this immortal Yoga to Vivasvan (sun-god), Vivasvan conveyed it to Manu(his son), and Manu imparted it to (his son) Iksvaku. Thus transmitted to succession from father to son, Arjuna, this Yoga remained known to the Rajarisis (royal sages). It has however long since disappeared from this earth. The same ancient Yoga has this day been imparted to you by Me, because you are My devotee and friend, and also because this is a supreme secret”.
At this Arjuna said: You are of recent origin while the birth of Vivasvan dates back to remote antiquity. How, then, I am to believe that you taught this Yoga at the beginning of creation? Lord SriKrishna said: Arjuna, you and I have passed through many births. I remember them all, you do not remember.
Famous historian Romila Thapar has described in her book A History of India about the status of Yoga in 300-700 A.D. She writes: “Yoga (Application) which was based on the control of the body physically and implied that a perfect control over the body and the senses led to knowledge of the ultimate reality. A detailed anatomical knowledge of the human body was necessary to the advancement of yoga and therefore those practising yoga had to keep in touch with medical knowledge.”
As far as anatomical knowledge of human body is concerned it is very much required for the optimum result during practice of Yoga. Yoga system has very close connection with the human anatomy i.e. chakra or nerve centres distributed along the spinal column and in brain region.
Besides, connection chakras with the practice of Yoga, chakra has also great role in the development of personality. People do not realise that personalities can grow to include a balance of all the six chakras. Jung referred to this growth process as "individuation", and associated it with life's spiritual dimension. Danah Zohar evolves a model of spiritual quotient (sq) based on the six petals of a lotus and its centre, corresponding to the seven chakras described by the Hinduism's Kundalini Yoga, as an aid to the process of individuation in the mid-1990s. Contribution of Danah Zohar for coining the term spiritual quotient for the first time is immense. But she did not establish any mathematical relationship, which is very much required, for this quotient.
Deepak Chopra has given a formula of spiritual quotient in terms of Deed (D) and Ego (E). According to Deepak Chopra S.Q. =D/E. He (2006) writes: If Vedanta is right and there is only one reality, then all desires must follow the same mechanics, desires arise and are fulfilled in consciousness. Making yourself happy involves ..... I have a " Spiritual Quotient" where SQ = D/E. Where D = Deeds and E = Ego. Now you can ONLY have an SQ = infinity when E = 0. If E is little even then SQ is approaching infinity (or one is close to be a "Great Master") but not actually "Pure .This appears to be very fascinating but it is highly abstract which cannot be measured experimentally, accurately and precisely. However, this formula has immense value to understand S.Q.
I too have discovered a mathematical relationship for S.Q about eight years back in 2001. I have used physiological parameters which can be measured accurately and precisely and can be tested and verified experimentally. According to this formula S.Q. can be expressed as the ratio of parasympathetic dominance (P.D.) to sympathetic dominance (S.D.). Parasympathetic nervous system (PSNS) and sympathetic nervous system (SNS) are the two parts of the autonomic nervous system (ANS) which is largely under hypothalamic control. Hypothalamus is situated very close to the Sixth Chakra. During practice of meditation at Sixth Chakra these centres are galvanized which has very positive effect on practitioners spiritual, emotional, psychological and physical well being.
According to this relationship spiritual quotient can be written as:
S.Q. = P.D./S.D.
If the value of S.Q. comes >1 (greater than one), it can be assumed that the person is moving towards self-realisation and if the value of S.Q. comes <1 (smaller than one) it can be predicted that the person is living under stress. This formula has remarkable analogy with the formula of Intelligent Quotient discovered by Wilhem Stern which states as I.Q.=Mental Age/Chronological Age x100.
I have also attempted to establish mathematical relationship for emotional quotient (E.Q.). This is now a recognized fact that for a successful career not only higher I.Q. is necessary but level of E.Q. also plays a greater role. Higher is the level of E.Q. greater is the achievement in life. I have defined emotional quotient as the product of wisdom (w) and I.Q. This relationship can be expressed mathematically as:
E.Q. = w X I.Q.
In this relationship ‘w’ indicates a person’s insight, power of judgment and ability to understand others. This can be assigned mathematical value in binary digits i.e. 0,1. Zero represent absence of these qualities and, ‘one’ represent presence of these qualities in fullness. If a person is devoid of these qualities, the E.Q. can be labeled as ‘zero’ OR ‘near about zero’. In such persons if the level of I.Q. is high, the person may become an autocrat. If a person possesses all the above qualities then E.Q. may be equal to I.Q. and such persons are truly democrat. Spiritually enlightened persons are also democrat. Evidently there is a greater correlation amongst I.Q., E.Q. and S.Q.. In fact S.Q. leverages both E.Q. and I.Q.
There are various types of meditation available, which are being practiced by sages, saints, seers and others. The difference in various versions lies in the fact that these practices involve concentration to meditate at different centres known as Chakra in Yoga System. These chakras are, in fact, energy centres which correspond to nerve centres distributed along the spinal column and in brain region.
Some practitioners start to meditate at Basic/Root Chakra (Muladhara) – situated at the base of spine, some at Heart Chakra (Anahata Chakra), some at Ajna Chakra – Optic Chiasma – Master Chakra and some from even higher centres situated in the brain region. Among all these types of meditation, practice at sixth chakra is considered to be the most ideal which brings about optimum results.
Sixth Chakra is situated very close to hypothalamus. The hypothalamus is a portion of brain that contains a number of small nuclei with a variety of functions. One of the most important functions of the hypothalamus is to link nervous system to the endocrine system via the pituitary glands.
Autonomic nervous system (ANS) is largely under hypothalamic control. ANS consists of parasympathetic nervous system (PSNS) and sympathetic nervous system (SNS). PSNS is activated during meditative calm and during stress SNS is activated. When PSNS is activated, heart rate, breathing rate, blood pressure decreased. Supply of blood in the digestive tract increased. When SNS is activated heart rate, breathing rate, blood pressure increased. Supply of blood to the muscles and exterior organs increased and to the digestive tract decreased. In addition to these, there are many other parameters which can be compared. Parasympathetic Dominance (P.D.) is the state of PSNS activation and Sympathetic Dominance (S.D.) is the state of SNS activation. Instruments are available in medical science to measure these parameters.
Now we can assign numerical value to each parameter. Then put the value in the formula for S.Q. and see the result. We can show the calculation as mentioned below:
S.Q.= P.D./S.D. = Σ X / Σ Y
Where X=x1+x2+x3+ …….
And Y=y1+y2+y3+…….
During PSNS activation (P.D.), we assign ‘1’ to each parameter (x1+x2+x3+…..) and ‘0’ to each parameter (y1+y2+y3+…..). During SNS activation (S.D.), we assign ‘1’ to each parameter (y1+y2+y3+…) and ‘0’ to each parameter (x1+x2+x3+….).
By putting the numerical value, thus achieved, in the above formula for S.Q. we can calculate the Spiritual Quotient of an individual.
This mathematical relationship of spiritual quotient will certainly facilitate further research in the area of spiritual science.