Oleh: Wahyudi Heru
Sebagian orang mungkin berkata dalam hatinya, “Ngapain saya harus pusing dan mikirin keadaan orang lain dengan memberikan sebagian harta saya kepada mereka. Emang siapa mereka? Saudara bukan, memiliki hubungan baik juga tidak. Bukankah harta ini saya cari sendiri dengan keringat saya dan tidak atas bantuan mereka sama sekali.”
Ketika zakat dan sedekah dibicarakan, salah satu hal yang selalu disampaikan para penceramah sebagai pendorong agar orang tergugah dan berkenan melakukan ibadah sosial itu adalah menyayangi sesama. Namun ada satu sisi yang seringkali tidak diperhatikan banyak orang dalam hal ini. Tetapi sebelum membahas hal itu, mari kita mendiskusikan segala hal yang disyariatkan Allah.
Saya mengibaratkan Allah sebagai produsen alam semesta yang memiliki banyak produk ciptaan, dan salah satu produk yang paling diunggulkan-Nya adalah manusia. Karena makhluq lain hampir seluruhnya diciptakan sebagai fasilitas untuk mempermudah manusia dalam menjalani hidup. Produsen selalu menyertakan “manual guide” atau semacam petunjuk penggunaan dalam setiap produk yang dikeluarkannya.
Ketika mennciptakan manusia, Allah pun menyertakan “manual guide” baginya yaitu agama. Ketika manual guide ini dijalankan maka yang akan menerima kebaikan bukanlah pihak produsen melainkan produk atau pemakai manual guide itu sendiri. Aturan untuk selalu mengganti oli sebuah kendaraan pada kilometer tertentu bukanlah untuk kebaikan produsen melainkan demi keawetan kendaraan itu sendiri kan?
Hal ini perlu kita sadari benar. Artinya bahwa segala hal yang disyariatkan oleh Tuhan adalah demi kebaikan manusia itu sendiri. Jadi saya melihat bahwa syariat yang telah ditentukan Allah adalah demi kemaslahatan manusia itu sendiri. Oleh karenanya salah satu alasan mengapa seseorang harus melakukan semua syariat adalah karena kecintaan mereka pada kebaikan, kemaslahatan, dan kelanggengan dirinya sendiri, bukan siapa pun. Maka siapa pun yang mencintai diri mereka, dia harus melakukan segala hal yang akan berimbas positif untuk dirinya.
Dengan dasar inilah, maka sebenarnya zakat dan sedekah yang kita lakukan adalah bukan hanya dalam rangka menyayangi sesama tapi lebih dari itu adalah demi kecintaan kita pada diri sendiri. Mari coba kita lihat sebuah hadits Nabi “wallahu fi ‘auni al-abdi ma daama al-abdu fi ‘auni akhihi”. Pernyataan Nabi tersebut sangat jelas memberikan janji perihal adanya pertolongan Allah kepada orang-orang yang mau menolong orang lain. Rasa tanggungjawab untuk memberikan bantuan dan kasih sayang pada sesama akan menjadikan diri kita layak untuk mendapatkan pertolongan dan rahmat-Nya.
Sebuah riwayat hadits yang lain bahkan dengan tegas memberikan janji bahwa orang yang membantu seorang mukmin keluar dari kesulitan kehidupan dunia, maka Allah akan menolongnya untuk keluar dari kesukaran di akhirat kelak. Jadi perlu kita sadari bahwa kebaikan kita pada orang lain sebenarnya adalah untuk kebaikan diri kita sendiri. Oleh karena itulah Allah menyebut orang-orang yang tidak mengikuti syariat-Nya sebagai “man dzalama nafsahu” (orang-orang yang mendalimi dirinya sendiri). Dan sebaliknya, orang yang mau bersyukur maka sebenarnya ia bersyukur untuk kebaikan dirinya sendiri, “wa man yasykur fa innama yasykuru li nafsih”. Zakat dan sedekah adalah sebagian dari cara bersyukur yang diajarkan Allah Swt kepada makhluq-Nya yang disebut manusia.
Jika kita cermati lebih dalam, sebenarnya yang dinilai Tuhan bukanlah sekadar besarnya harta yang Anda keluarkan ataupun berapa banyak orang yang anda bantu. Satu hal yang tidak boleh terlupakan dalam rasa syukur, apa pun bentuknya, adalah ketulusan. Bahkan al Quran memberikan perbandingan bahwa ucapan yang baik dan pemberian maaf adalah lebih baik daripada sedekah yang diikuti dengan perkataan atau perilaku yang menyakitkan si penerima. Al Quran memberikan gambaran orang yang bersedekah tanpa ketulusan bagai sebuah butiran pasir di atas batu licin yang kemudian tertimpa hujan lebat, tak ada yang tersisa sedikit pun bukan? Jadi, jika ingin harta yang anda sedekahkan tidak “terbuang sia-sia”, dasarilah dengan penuh ketulusan.
Lalu keuntungan konkrit apa yang dapat kita peroleh dengan bersyukur melalui derma? Allah berjanji untuk melipatgandakan pahala hingga 700 kali bagi orang-orang yang mau bersedekah di jalan-Nya (al Baqarah: 261). Allah juga berjanji akan menambah nikmat orang-orang yang mau bersyukur (Ibrahim: 7).
Mungkin ayat-ayat tersebut telah dijadikan bahan dasar materi ceramah panjang para dai dan nasihat bijak para ulama. Namun di sini saya menawarkan satu hal yang sederhana, jika kita memercayai dengan sungguh bahwa Tuhan itu ada sebagai Pencipta alam semesta, dan kita meyakini bahwa Dia tidak akan sekali-kali mengingkari janji-Nya, maka mengapa tidak kita lakukan saja zakat, sedekah dan berbagai bentuk rasa syukur yang lain demi kebaikan diri kita. Kemudian dengan penuh rasa rendah diri menagih janji-janji Nya. Impas kan? Bukan minta melulu kepada Tuhan, tetapi juga memberi kepada makhluq-Nya.
Sebagian orang mungkin berkata dalam hatinya, “Ngapain saya harus pusing dan mikirin keadaan orang lain dengan memberikan sebagian harta saya kepada mereka. Emang siapa mereka? Saudara bukan, memiliki hubungan baik juga tidak. Bukankah harta ini saya cari sendiri dengan keringat saya dan tidak atas bantuan mereka sama sekali.”
Ketika zakat dan sedekah dibicarakan, salah satu hal yang selalu disampaikan para penceramah sebagai pendorong agar orang tergugah dan berkenan melakukan ibadah sosial itu adalah menyayangi sesama. Namun ada satu sisi yang seringkali tidak diperhatikan banyak orang dalam hal ini. Tetapi sebelum membahas hal itu, mari kita mendiskusikan segala hal yang disyariatkan Allah.
Saya mengibaratkan Allah sebagai produsen alam semesta yang memiliki banyak produk ciptaan, dan salah satu produk yang paling diunggulkan-Nya adalah manusia. Karena makhluq lain hampir seluruhnya diciptakan sebagai fasilitas untuk mempermudah manusia dalam menjalani hidup. Produsen selalu menyertakan “manual guide” atau semacam petunjuk penggunaan dalam setiap produk yang dikeluarkannya.
Ketika mennciptakan manusia, Allah pun menyertakan “manual guide” baginya yaitu agama. Ketika manual guide ini dijalankan maka yang akan menerima kebaikan bukanlah pihak produsen melainkan produk atau pemakai manual guide itu sendiri. Aturan untuk selalu mengganti oli sebuah kendaraan pada kilometer tertentu bukanlah untuk kebaikan produsen melainkan demi keawetan kendaraan itu sendiri kan?
Hal ini perlu kita sadari benar. Artinya bahwa segala hal yang disyariatkan oleh Tuhan adalah demi kebaikan manusia itu sendiri. Jadi saya melihat bahwa syariat yang telah ditentukan Allah adalah demi kemaslahatan manusia itu sendiri. Oleh karenanya salah satu alasan mengapa seseorang harus melakukan semua syariat adalah karena kecintaan mereka pada kebaikan, kemaslahatan, dan kelanggengan dirinya sendiri, bukan siapa pun. Maka siapa pun yang mencintai diri mereka, dia harus melakukan segala hal yang akan berimbas positif untuk dirinya.
Dengan dasar inilah, maka sebenarnya zakat dan sedekah yang kita lakukan adalah bukan hanya dalam rangka menyayangi sesama tapi lebih dari itu adalah demi kecintaan kita pada diri sendiri. Mari coba kita lihat sebuah hadits Nabi “wallahu fi ‘auni al-abdi ma daama al-abdu fi ‘auni akhihi”. Pernyataan Nabi tersebut sangat jelas memberikan janji perihal adanya pertolongan Allah kepada orang-orang yang mau menolong orang lain. Rasa tanggungjawab untuk memberikan bantuan dan kasih sayang pada sesama akan menjadikan diri kita layak untuk mendapatkan pertolongan dan rahmat-Nya.
Sebuah riwayat hadits yang lain bahkan dengan tegas memberikan janji bahwa orang yang membantu seorang mukmin keluar dari kesulitan kehidupan dunia, maka Allah akan menolongnya untuk keluar dari kesukaran di akhirat kelak. Jadi perlu kita sadari bahwa kebaikan kita pada orang lain sebenarnya adalah untuk kebaikan diri kita sendiri. Oleh karena itulah Allah menyebut orang-orang yang tidak mengikuti syariat-Nya sebagai “man dzalama nafsahu” (orang-orang yang mendalimi dirinya sendiri). Dan sebaliknya, orang yang mau bersyukur maka sebenarnya ia bersyukur untuk kebaikan dirinya sendiri, “wa man yasykur fa innama yasykuru li nafsih”. Zakat dan sedekah adalah sebagian dari cara bersyukur yang diajarkan Allah Swt kepada makhluq-Nya yang disebut manusia.
Jika kita cermati lebih dalam, sebenarnya yang dinilai Tuhan bukanlah sekadar besarnya harta yang Anda keluarkan ataupun berapa banyak orang yang anda bantu. Satu hal yang tidak boleh terlupakan dalam rasa syukur, apa pun bentuknya, adalah ketulusan. Bahkan al Quran memberikan perbandingan bahwa ucapan yang baik dan pemberian maaf adalah lebih baik daripada sedekah yang diikuti dengan perkataan atau perilaku yang menyakitkan si penerima. Al Quran memberikan gambaran orang yang bersedekah tanpa ketulusan bagai sebuah butiran pasir di atas batu licin yang kemudian tertimpa hujan lebat, tak ada yang tersisa sedikit pun bukan? Jadi, jika ingin harta yang anda sedekahkan tidak “terbuang sia-sia”, dasarilah dengan penuh ketulusan.
Lalu keuntungan konkrit apa yang dapat kita peroleh dengan bersyukur melalui derma? Allah berjanji untuk melipatgandakan pahala hingga 700 kali bagi orang-orang yang mau bersedekah di jalan-Nya (al Baqarah: 261). Allah juga berjanji akan menambah nikmat orang-orang yang mau bersyukur (Ibrahim: 7).
Mungkin ayat-ayat tersebut telah dijadikan bahan dasar materi ceramah panjang para dai dan nasihat bijak para ulama. Namun di sini saya menawarkan satu hal yang sederhana, jika kita memercayai dengan sungguh bahwa Tuhan itu ada sebagai Pencipta alam semesta, dan kita meyakini bahwa Dia tidak akan sekali-kali mengingkari janji-Nya, maka mengapa tidak kita lakukan saja zakat, sedekah dan berbagai bentuk rasa syukur yang lain demi kebaikan diri kita. Kemudian dengan penuh rasa rendah diri menagih janji-janji Nya. Impas kan? Bukan minta melulu kepada Tuhan, tetapi juga memberi kepada makhluq-Nya.
Comments :
Posting Komentar
Saran, kritik dan komentar anda akan sangat membantu kami dalam mengembangkan web blog ini. Terimakasih