Dilema dan Solusinya

Pengurus Al Madinah telah mematangkan konsep dan aktifitas reguler untuk Grha Aitam, kendati “istana” anak yatim ini baru akan beroperasi secara penuh mulai Juni 2009. Selain kegiatan ala pesantren layaknya Madrasah Diniyah, serta ritual-ritual khas santri seperti jamaah shalat fardhu, istighatsah, dan semacamnya, Grha Aitam ke depan akan mewajibkan seluruh penghuni asrama untuk menggunakan bahasa Inggris dan Arab sebagai bahasa percakapan. Masih ada lagi program khusus yang bersifat tentatif seperti pelatihan kewirausahaan untuk anak, business day, wisata edukatif, dan semacamnya.

Semua program di atas berorientasi pada pengembangan mind (pikiran) dan behavior (perilaku) sekaligus. Namun gagasan “mengistanakan” anak yatim dengan memberi kemewahan fasilitas kepada anak-anak asuhnya tidak bisa dipungkiri memang dilematis. Anak-anak yatim yang dalam kehidupan kesehariannya di rumah pas-pasan dikhawatirkan akan muncul gejala culture shock atau keterkejutan budaya ketika bergumul dengan kehidupan ala masyarakat berkemampuan ekonomi lumayan. Kekhawatiran ini mencuat saat pengurus Al Madinah bersilaturahmi dan ngangsu kaweruh ke beberapa pengasuh pesantren dan lembaga-lembaga pendidikan kenamaan.

Salah satu tokoh yang melontarkan kekhawatiran tersebut ialah KH. Sulthon A. Hadi, pengasuh Pondok Pesantren Bahrul Ulum Tambakberas Jombang. Ia memertanyakan hal itu sekaligus mengingatkan pengurus Yayasan agar mengantisipasi hal tersebut sedini mungkin. Secara psikologis, hal itu memang sangat mungkin terjadi.

Dalam pandangan Prof. Jatie, alumnus program doktoral psikologi UGM Yogyakarta, culture shock pasti ada. Ia merujuk pada kasus beberapa anak lulusan sekolah mahal yang anti melihat sesuatu yang tidak lux, lingkungan pedesaan, dan hidup dengan pola konsumtif, dan high class. Salah satu penyebabnya, selain komunitas sosialnya yang memang elitis, di rumah ia terbiasa dilayani dan memerintah pembantunya.

Gejala keterkejutan budaya ini dalam term Ratna, pengajar psikologi Untag, salah satunya diakibatkan kesenjangan antara kehidupan riil anak dengan kehidupan harian yang pada suatu masa tertentu dijalani. Syarif Thayib sebagai salah satu konseptor Grha Aitam menyadari betul akan hal tersebut. Ia mengaku sudah menyiapkan “resep” khusus untuk mengantisipasi hal tersebut, salah satunya dengan program bakti sosial anak.

“Melalui kegiatan tersebut anak akan diajak bertandang ke panti-panti asuhan yang fasilitasnya minim, rumah-rumah singgah anak jalanan, dan semacamnya. Biar mereka tahu detail kondisi kawan-kawan sebayanya. Di situ nanti akan berdialog dengan para penghuni tempat-tempat itu, dan memberikan sedikit derma kepada mereka untuk menanamkan mental pemberi, bukan penerima,” urai pria kelahiran Cirebon, Jawa Barat tiga puluh delapan tahun silam ini.

Dalam pandangan Ibu Yatie, fasilitas mewah bukan masalah asalkan diimbangi dengan program ataupun kegiatan-kegiatan wajib yang membuat anak bisa mandiri secara sosial. Yatie mengisahkan pengalamannya berkunjung ke sebuah asrama Katolik, “Di ruang makan semua sudah tersedia. Ada tempat cuci piring, lap piring, tempah sampah basah dan kering. Anak-anak di situ terbiasa mencuci piring dan membersihkan tempatnya sendiri walaupun ada suster yang jaga.” Maka menurut Yatie, “Pekerjaan-pekerjaan seperti itu jangan dihilangkan karena tidak edukatif. Mesin cuci boleh, tetapi biarkan anak-anak yang menggunakan, biar mereka tahu cara pakainya. Itu pendidikan pengembangan pribadi,” cetus Yatie dengan logat Sundanya yang masih terasa.

Selain itu menurutnya, sejak awal sudah ada proses internalisasi bahwa apa yang diterima anak adalah adalah rezeki dari Allah. “Itu harus ditekankan oleh pengasuh. Semacam brain washing (cuci otak) gitu lah, cetus Kepala Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) Ubaya ini. Mengamini Yatie, Josephine, psikolog klinis di Rumah Sakit Surabaya Internasional, juga menekankan pentingnya penyadaran kepada anak bahwa mereka adalah generasi yang beruntung. “Kata beruntung sendiri baik secara operasional maupun spiritual harus kita korek dari pengertian anak-anak. Karena anak punya persepsi yang beragam atas setiap kata atau situasi,” tandas ibu dua anak itu.

Semua itu merupakan upaya antisipatif menghindari lahirnya generasi-genarasi yang rapuh dan tidak tangguh menghadapi realitas yang menghampar dalam hidupnya. Dalam kaca mata Hidayat, sindrom purna asuh itu bisa diatasi dengan pendidikan kemandirian, “Kalau dibiasakan manja, ya jadi manja, kalau dibiasakan mandiri jadi mandiri. Menurut saya yang harus disiapkan adalah jiwa perubahan. Jadi mereka tidak larut dalam sistem tetapi bisa mengubahnya. Semisal asrama pesantren yang dituju nanti kotor, mereka yang harus memulai untuk mengubahnya menjadi bersih. Itu harus dibangun sejak dini.”

Solusi “radikal” ditawarkan oleh Ratna. Psikolog lulusan S1 UGM Yogyakarta tahun 1989 ini menyarankan agar Al Madinah merapkan standar minimal fasilitas pesantren di Indonesia sebagai patokan, supaya anak memiliki basic yang sama ketika melanjutkan ke pesantren pasca Grha Aitam nanti. Ia mengatakan, “Biarkan mereka hidup dengan alamnya, disetarakan dengan alamnya. Oke saya setuju pendidikan mewah. Tetapi bukan fasilitas yang menempel pada anak hingga membuat mereka tergantung. Di mana letak mental pengubahnya kalau tidak dilatih sejak dini bahwa kalau ingin mendapatkan sesuatu harus dengan kerja keras?”

Syarif sebagai penanggungjawab Grha Aitam, menanggapi kritikan Ratna dengan santai. “Ya kan konsep ini belum dicobaterapkan. Jangan diadili dulu lah,” pinta Syarif yang pernah memberikan pelatihan Spiritual Emotional Freedom Technique (SEFT) di Hongkong pada medio tahun 2008.
Di lain pihak, Prof. Yatie sangat apresiatif dengan konsep Grha Aitam Al Madinah. “Saya berharap bibit-bibit potensial yang nasibnya kurang beruntung itu bisa belajar banyak hal di Al Madinah. Mereka menggunakan telepon, memanfaatkan komputer dan internet, mesin cuci, dan sebagainya. Itu semua belajar dan harus digarisbawahi terus. Begitu keluar dari panti, anak punya ijazah macam-macam. Ijazah TI, ijazah bahasa, ijazah bersih, dan lain-lain,” tukasnya. Yatie berpesan agar para Murabbi di Grha Aitam nanti kerap mengingatkan anak asuhnya akan kewajibannya pasca lulus dari panti. Menurutnya, selama di Grha anak-anak harus diresapkan dengan pesan bahwa segala hal baik yang mereka peroleh wajib ditularkan kepada rekannya-rekannya di luar.
(Syafiq)

Comments :

0 komentar to “Dilema dan Solusinya”

Posting Komentar

Saran, kritik dan komentar anda akan sangat membantu kami dalam mengembangkan web blog ini. Terimakasih

 

koleksi

koleksi

Redaksi

Ketua Pengarah: M. Arif Junaidi. Penanggungjawab: Syarif Thayib (Ketua Yayasan Al Madinah).
­Redaktur Ahli: dr. Muhammad Thohir, Sp.Kj., Ahmad Faiz Zainuddin, S.Psi, Masuki M. Astro, Siti Raudlatul Jannah, S.Ag . Pemimpin Umum: Izzuddin Al Anshary. Pemimpin Redaksi: M. Syafiq Syeirozi. Redaktur Pelaksana: A. Suud Fuadi. Dewan Redaksi: Helmi Jauhari, A. Fathul Hudi. Distributor: Syafi’uddin. Kontributor Edisi ini: Aura Azzahra. Desain/Layout: Abd. Rokhman
Alamat Redaksi: Grha Aitam, Jl. Bratang Binangun IX/25-27 Surabaya. Telepon/Faksimile: (031) 5019424 / 5022212. ­E-Mail: redaksimadinah@yahoo.com. Web Blog: majalah-madinah.blogspot.com