Membangun Mental Positif, Bukan Negatif

Persoalan membangun mentalitas secara teoretis salah satunya dipelopori oleh Max Weber melalui bukunya The Protestan Ethic and The Spirit of Capitalism, hingga tanpa sengaja ia memelopori mazhab sosiologi humanis. Bagi Weber, faktor utama kemiskinan individu adalah etos kerja yang lemah, bermazhab fatalis (pasrah total) dalam keimanan, atau karena faktor alam. Maka suntikan semangat moral dan material merupakan keniscayaan.

Kasus di Eropa yang diurai oleh Weber dalam buku itu menunjukkan, motivasi kerja yang tinggi untuk menumpuk harta benda dari penganut protestantisme asketis, terutama kaum calvinis, justru dipicu oleh ajaran agama yang menegaskan bahwa keberhasilan dalam usaha (bisnis) merupakan satu pertanda keselamatan mereka di alam akhirat kelak. Konon bertolak dari model keimanan itu, mobil mewah Ford diproduksi, hingga kini berkembang pesat di pasar internasional.

Membangun mentalitas kaya dengan ikhtiar optimal. Itulah cita-cita Al Madinah dalam membina anak-anak asuhnya di Grha Aitam. Anak-anak diproyeksikan sebagai generasi rahmatan lil alamin yang berjiwa “cukup” bukan tamak, dan gemar memberi bukan menerima. Dalam pemikiran Syarif Thayib, Ketua Yayasan, mentalitas kaya bisa diperoleh melalui cara; membiasakan diri selalu ceria dan mudah senyum, bukan cemberut, bertampang sumpek dan seterusnya; Merasa cukup bukan kurang; Gemar memberi bukan menerima; Melatih diri selalu memperbanyak teman dan prihatin jika mendapatkan lawan.

Syarif menyitir pendapat Robert Fulghum dalam bukunya All I Really Need To Know I Learned in Kindergarten bahwa keberhasilan suatu negara sangat ditentukan oleh karakteristik masyarakatnya, dan itu diperoleh dari pelajaran taman kanak-kanak, yaitu; kalau kalah harus sportif, jangan curang; kalau bawa banyak makanan, temannya diberi; kalau berbicara harus jujur; dan jika berbuat salah, jangan malu minta maaf. “Prinsip tersebut akan diterapkan di Grha Aitam. Karena di situ anak-anak usia dini akan dibina. Kesuksesan membangun karakter di masa kanak-kanak sangat menentukan kematangan emosi anak kelak dalam membangun relasi sosial,” ujar bapak empat anak itu berargumen.

Salah satu strategi Al Madinah dalam membangun mentalitas kaya ialah dengan mengajak anak belajar bisnis. Program Grha Aitam dalam hal ini ialah bussines day for kids, sebuah aktifitas yang dijalankan pada hari tertentu dengan misi mengajarkan kepada anak tentang teori dan praktik jual beli, tentunya dengan bahasa yang simpel dan mudah dicerna mereka.

Ide program tersebut didukung penuh oleh Sulthon, M.M, Direktur Laboratorium Medis Pramita Utama Surabaya. Bisnis baginya adalah aktifitas jual beli. Maka pendidikan bisnis kepada anak yang paling efektif, menurut Sulthon, adalah mempraktikan jual beli. “Anak-anak saya oleh ibunya sejak kecil sudah diajari untuk jual beli. Tentu semampu mereka seperti jual permen. Melalui itu anak akan menemukan banyak pengalaman, selain belajar berkomunikasi dengan orang di luar keluarganya, ia bisa mempelajari tipologi dan perilaku konsumen, mengetahui peluang, dan yang terpenting adalah keberanian untuk memulai. Jiwa pengusaha harus ditanamkan sejak dini Mas,” urai Sulthon yang disowani Al Madinah pada Selasa 06/01/2009.

Sulthon adalah pemilik Laboratorium Medis Pramita Utama –kini berkembang menjadi sebelas cabang— dan Sekolah Alam Insani Mulia, Semampir Indah, Surabaya. Sulthon merupakan pebisnis yang memulai usahanya dari titik nol. Sepetak sawah warisan orang tuanya ia jual sebagai modal awal usahanya.

Selain pendidikan praktis tersebut, anak harus dibekali dengan nilai dan prinsip yang memacu mereka lebih giat dalam berusaha dan ingin kaya. Menurut Hidayat, secara normatif anak harus diajarkan bahwa Allah lebih mencintai orang yang kuat daripada orang yang lemah. “Nah kuat itu salah satunya harus kaya secara ekonomi, dan itu bisa dicapai kalau mereka berusaha. Tentunya berbekal ilmu pengetahuan yang memadai dan skill mantap,” ucap pembina lembaga Yatim Mandiri ini.

Secara psikologis internalisasi nilai tersebut berpengaruh besar terhadap motivasi anak. Maka dalam perspektif Yatie yang dikukuhkan status Guru Besarnya pada April 2008 lalu, pelajaran terbesar yang didapatkan anak ketika berjualan ialah makna jual beli. Anak menyadari bahwa kalau ingin memeroleh sesuatu harus berusaha, jer basuki mowo beyo, begitu dalam falsafah Jawa. Sekaligus mereka mengetahui cara yang halal dan baik untuk mewujudkan keinginannya itu.

“Maka sebelum program (business for kidds: red) itu dilaksanakan, makna dan tujuan jualan diterangkan dulu. Digali juga apa makna jualan bagi mereka, jadi mereka berproses. Saat praktik jualan harus didampingi sembari diterangkan pengalaman-pengalaman unik yang mereka peroleh,” saran Yatie yang menempuh seluruh jenjang pendidikan tingginya di UGM Yogyakarta.

Petuah arif datang dari Sulthon. Dalam hematnya, manusia hidup hanya menjalankan misi mengabdi kepada Tuhannya. Jadi usaha apa pun di dunia muaranya adalah beribadah. Ini penting ditananamkan pada diri sendiri maupun anak. “Karena untuk beribadah, maka usaha apa pun harus sepenuh hati sehingga membentuk etos kerja yang tinggi, papar alumnus alumnus IKIP Negeri Surabaya (sekarang Unesa) itu bijak.

Tujuan kaya, masih menurut Sulthon, idealnya, agar seseorang lebih banyak memberi kemaslahatan bagi sesamanya sehingga memiliki nilai lebih di mata Allah. “Orang kaya kan bisa menjadi jalan rezeki Allah bagi hamba-Nya yang lain,” kata pria asli Tulangan, Sidoarjo ini. Maka ajaran ‘tangan di atas lebih mulia dari tangan di bawah” wajib diresapkan betul ke dalam diri anak. Dari situ akan tertanam mental kaya pada anak. Mental kaya adalah tidak khawatir kekurangan saat berbagi karena merasa cukup dan rezekinya telah dijamin oleh Tuhannya.

Sementara itu Ratna bersikukuh bahwa fasilitas mewah lebih banyak memicu ekses negatif. Ia lebih memilih cara menggembleng anak dalam dataran action bukan hanya teoretis hingga mereka menjadi tipe orang yang tahan banting. Ia berpandangan, semua proses itu diresapkan pada anak sehingga menjadi ketidaksadaran dan terkonversi menjadi energi mesin untuk melangkah dalam kehidupannya.

“Mental itu kan mindset. Kalau mindset dikelola, kenapa tidak mendidik mereka di usia dininya dengan cara-cara yang membuat mereka pada suatu saat nanti ingin lebih berharga dari yang dialaminya sekarang. Jadi ada perbandingan. ‘Kamu tidak suka kan dengan hidupmu sekarang? Maka bekerja keras lah.’ Jadi ada titik pembanding yang mampu melecut anak-anak untuk berubah. Nah kalau kondisi sekarang enak, anak akan bilang, apalagi yang harus dikejar?” ujar Ratna bersemangat.

Statemen apa pun dari para pakar dan praktisi pendidikan bagi Syarif selaku Ketua Yayasan Al Madinah merupakan masukan berharga. “Semua masukan yang kita terima konstruktif. Dan itu menjadi bahan pertimbangan kami untuk menyempurnakan konsep dan program Grha Aitam,” cetus mantan aggota Panwaslu Jatim ini.

Tujuan dari segala pola pendidikan dan pembinaan anak usia dini adalah pembentukan mentalitas positif bukan negatif. Itu garis bawahnya.
(Suud & Syafiq)

Comments :

0 komentar to “Membangun Mental Positif, Bukan Negatif”

Posting Komentar

Saran, kritik dan komentar anda akan sangat membantu kami dalam mengembangkan web blog ini. Terimakasih

 

koleksi

koleksi

Redaksi

Ketua Pengarah: M. Arif Junaidi. Penanggungjawab: Syarif Thayib (Ketua Yayasan Al Madinah).
­Redaktur Ahli: dr. Muhammad Thohir, Sp.Kj., Ahmad Faiz Zainuddin, S.Psi, Masuki M. Astro, Siti Raudlatul Jannah, S.Ag . Pemimpin Umum: Izzuddin Al Anshary. Pemimpin Redaksi: M. Syafiq Syeirozi. Redaktur Pelaksana: A. Suud Fuadi. Dewan Redaksi: Helmi Jauhari, A. Fathul Hudi. Distributor: Syafi’uddin. Kontributor Edisi ini: Aura Azzahra. Desain/Layout: Abd. Rokhman
Alamat Redaksi: Grha Aitam, Jl. Bratang Binangun IX/25-27 Surabaya. Telepon/Faksimile: (031) 5019424 / 5022212. ­E-Mail: redaksimadinah@yahoo.com. Web Blog: majalah-madinah.blogspot.com