Oleh: dr. H. Muhammad Thohir, Sp.Kj
Zaman dulu seseorang yang mengalami tekanan hidup (stres) tidak bisa begitu saja menderita depresi, ada rentang waktu panjang. Namun fenomena mutakhir menunjukkan, penyakit depresi mengalami “percepatan” ibarat mobil di jalan tol. Dahulu depresi lebih banyak menimpa orang-orang berusia lanjut tetapi sekarang mengalami “peremajaan”. Anak usia SD, SMP bisa depresi hingga nekad bunuh diri lantaran malu akibat telat membayar SPP sekolahnya. Dahulu orang bunuh diri sendirian namun kini orang bunuh diri mengajak keluarganya. Ya, perkembangan zaman memang sangat pesat dan banyak orang yang tak siap akan perubahan kilat itu. Maka stres dan depresi pun rentan terjadi.
Beberapa hari sebelum tulisan ini dibuat, seorang pemuda menyodori saya permasalahan yang butuh jawaban solutif. Inti persoalan itu, seorang pengusaha merasa resah karena keponakannya yang berusia sembilan belas tahun (lulus SMA tahun 2008) kehilangan kepercayaan dan semangat diri. Hal itu dipicu oleh meninggalnya ayah si keponakan atau kakak dari pengusaha itu. Sejak kecil ia sangat dekat dengan ayahnya yang berperan sebagai orang tua sekaligus sahabat yang baik.
Namun akhir tahun 2008, sang ayah meninggal karena kecelakaan. Si keponakan sangat sedih. Roman mukanya terus terlihat murung, menjauh dari teman-teman akrabnya, hingga kerap mengurung diri di kamar. Dan itu sudah berlangsung hingga tiga bulan pascatragedi itu. Ibunya tidak bisa memahami kondisi anak dan malah kerap memarahinya. Kini sang anak malah jarang bertegur sapa dan berdialog dengan ibunya, kecuali seperlunya. Sebagai paman, pengusaha itu coba menghiburnya. Ia menawari keponakannya melanjutkan kuliah dan setelah lulus dijanjikan posisi yang bagus di perusahaannya. Namun ia menolak tawaran itu karena khawatir gagal memenuhi keinginan si pengusaha.
Menurut hemat saya, untuk menyelesaikan permasalahan yang kini mendera si keponakan perlu beberapa pendekatan. Pertama, tentu pendekatan spiritual. Ia perlu diingatkan bahwa kematian, jodoh, dan rezeki sudah ada “tulisannya”. Kecelakaan yang menimpa ayahnya tentu bukan hal yang diharapkan, tetapi itu musibah, dan betapa pun menyakitkan mesti diterima lapang dada. Berpisah dengan orang yang disayangi adalah keniscayaan, dan waktunya sudah dipastikan oleh Allah Swt, tidak bisa ditunda ataupun dipercepat. Ujian dalam wujud peristiwa yang menyedihkan dalam kehidupan manusia pasti terjadi. “Sesungguhnya Aku (Allah) akan memberimu ujian berupa ketakutan, kelaparan, kemiskinan, jiwa, krisis buah-buahan.” (Al Baqarah: 155).
Di sisi lain setiap manusia dianugerahi potensi untuk mampu menghadapi berbagai musibah. Allah Swt sudah menegaskan bahwa Ia tidak akan membebani hamba-Nya melainkan sesuai dengan kesanggupannya (al Baqarah: 286). Sayangnya kerapkali potensi itu tidak bisa dioptimalkan. Karenanya pemberdayaan potensi ini perlu dorongan orang lain.
Pendekatan kedua yaitu secara psikologis. Orang-orang terdekatnya perlu memberi dukungan mental kepada si anak karena ia kehilangan sentuhan sayang. Seorang anak normalnya mendapat dua kasih sayang yakni dari ayah dan ibunya. Namun ia sudah kehilangan satu kasih sayang. Seharusnya si ibu mampu memberikan kompensasi kasih sayang itu. Namun ketika ibunya tidak bisa memahami persoalan dan dia justru memarahi anaknya, maka anak ini kehilangan dua kasih sayang sekaligus. Maka, ibunya secara mental juga perlu disembuhkan.
Untuk saat ini, mungkin sang paman yang bisa menjalankan sentuhan kasih itu. Ia juga harus meyakinkan si keponakan bahwa dia tidak punya kepentingan apa pun dan sekadar menjalankan kewajibannya sebagai paman seperti menyekolahkan, membiayai, dan sebagainya. Dan ia tidak akan menuntut prestasi berlebih darinya.
Pendekatan yang ketiga, anak ini perlu psycho therapi dari ahli jiwa untuk mengetahui secara pasti permasalahan yang menerpanya. Kasus seperti di atas memang kerap terjadi dan harus ditangani secara serius dan segera. Pasalnya, semakin lama si penderita kian sulit kembali menuju standar normal. Maka kasus si keponakan tidak bisa dikatakan ringan karena rawan diserang virus depresi jika dibiarkan berlarut-larut. Ketika seseorang didera goncangan dan dia bereaksi –yang dalam kadar tertentu bersifat negatif— adalah lumrah dan manusiawi. Namun ketika berkepanjangan, maka menjadi sangat kontraproduktif, padahal setiap manusia dibekali potensi ketahanan mental.
Comments :
Posting Komentar
Saran, kritik dan komentar anda akan sangat membantu kami dalam mengembangkan web blog ini. Terimakasih