Al Madinah; Kotanya Anak Yatim

Oleh: Arif Djunaidy
Ketua Dewan Pembina Yayasan Al Madinah


Madinah bermakna kota. Dalam suatu perbincangan dengan sahabat, Nabi Muhammad Saw pernah menggunakan kata ini, “Ana madinatul ilmi wa Aliyyu babuha (aku [Rasul] adalah kotanya ilmu, dan Ali adalah pintunya).” Hadis itu menginformasikan tentang kualitas kecerdasan Ali bin Abu Tholib Kw., adik sepupu Nabi, dan Khulafau al Rasyidin yang keempat. Intinya, Rasul Saw adalah pusat atau gudang ilmu, sementara Ali adalah pintunya. Singkat kata jika ingin menanyakan suatu masalah –apa pun, maka tanyakanlah kepada Sahabat Ali sebelum kepada Rasul Saw.
Tulisan pendek berikut tidak hendak mengupas seberapa besar kepandaian dan kecerdasan Ali Kw hingga Rasul memuji Ali sebagai “pintunya”, Namun perihal madinah (kota) sebagai pusat peradaban suatu wilayah yang menginspirasikan penamaan yayasan Al Madinah.

Madinah adalah tempat hijrah Nabi Muhammad Saw dan seluruh rombongannya dari Makkah. Sebelumnya kota ini bernama Yatsrib. Madinah lantas menjadi tonggak sejarah peradaban Islam dan dunia. Di kota Madinah, Muhammad Saw meletakkan fondasi beragama, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara secara lebih riil. Sejarah Madinah telah menunjukkan wajah peradaban modern yang menjunjung tinggi kehormatan sesama anggota masyarakat tanpa memandang identitas agama, suku, ras, dan lainnya. Madinah pada zaman Nabi menampakkan wajah Islam yang sebenarnya, rahmatan lil ‘alamin (rahmat bagi semesta).

Tak ayal dalam kajian Ulumu al Quran, terdapat perbedaan antara ayat Makkiyah dan Madaniyah. Perbedaan ini menerangkan periode pewahyuan ayat al Quran kepada Nabi Saw. Pada fase Makkiyah, ayat al Quran lebih menitikberatkan semangat pengesaan kepada Allah Swt serta doktrin normatif dan semangat moral yang berkehendak meneguhkan keimanan perseorangan.

Sedangkan pada fase Madaniyah, ayat-ayat al Quran lebih menekankan tentang tata bangun kehidupan sosial, politik, hukum, dan ekonomi masyarakat. Masalah politik tata negara hingga perniagaan diatur sedemikian rupa untuk memperkuat masyarakat. Abdullahi Ahmed Al Naim (1995), intelektual muslim kelahiran Sudan, menyebut ayat Madaniyah sebagai ayat yang meneguhkan ciri Islam yang kosmopolit, inklusif (terbuka), dan demokratis. Perbedaan di atas sangat wajar mengingat setiap ayat maupun doktrin Islam memang terkait erat dengan situasi sosial di mana ayat atau doktrin tersebut diwahyukan atau dikemukakan.

Dalam bahasa Yunani, kota adalah polis. Tak salah jika kota-kota besar di Indonesia yang menguasai daerah sekelilingnya –dengan adanya kota satelit dan pinggiran— disebut metropolis. Lawan dari kota ialah kampung yang terkadang berkonotasi rendahan. Kata kampungan adalah bahan olok-olok bagi orang yang bersikap anarkis, bertampang lugu, dan semacamnya. Sedangkan “orang kota” lebih diidentikkan sebagai orang beradab, bijak, modern, dan sangsup mengikuti trend sosial. Ada satu kata dalam bahasa Inggris yang mirip dengan polis yaitu policy yang berarti kebijaksanaan. Maka bagi siapa pun yang mengaku sebagai orang kota harusnya lebih bijak, beradab, dan mengedepankan akal daripada okol (otot) ketika menghadapi permasalahan. Nyatanya, kekerasan justru paling sering terjadi di daerah perkotaan.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), terdapat dua definisi kota; daerah pemukiman yang terdiri atas bangunan rumah yang merupakan kesatuan tempat tinggal dari pelbagai lapisan masyarakat; daerah pemusatan penduduk dengan kepadatan tinggi serta fasilitas modern dan sebagian besar penduduknya bekerja selain di sektor pertanian. Secara sosiologis, kota adalah suatu sistem jaringan kehidupan manusia dengan kepadatan penduduk yang tinggi, strata sosial ekonomi yang heterogen, dan corak kehidupan yang materialistis.

Lantas apa kaitannya dengan Yayasan Al Madinah? Al Madinah saat ini sedang membangun sebuah panti asuhan yang terbilang megah –setidaknya dibandingkan kebanyakan panti di Indonesia— di tengah kota Surabaya, tepatnya di daerah Bratang Binangun. Grha Aitam namanya. Grha (bukan graha! Apa arti graha silakan tilik di KBBI) diambil dari bahasa Sansekerta yang bermakna istana. Sedang Aitam diserap dari bahasa Arab merupakan bentuk jamak dari yatim. Penamaan demikian agar anak yang tinggal di situ tidak merasa dirinya sebagai anak yatim yang miskin dan nestapa, tetapi sebagai kader-kader potensial dan berprestasi kendati sudah tidak memiliki ayah.

Istilah panti asuhan selama ini nyaris selalu diidentikkan dengan tempat menampung dan merawat anak yatim. Citra yang muncul ialah anak yatim bagian dari kelompok yang tidak beruntung dan perlu dikasihani. Mereka adalah anak-anak ndeso dan kumuh yang gagap akan kehidupan modern ala kota. Memosisikan anak yatim sebagai sosok yang kurang beruntung dan perlu dikasihani kiranya tidak adil. Ada sekian ratus atau bahkan ribuan tokoh besar, Nabi Muhammad Saw di antaranya, tumbuh sebagai anak yatim.

Madinah (baca: kota) kerap dicitrakan sebagai pusat peradaban sebuah wilayah, simbol modernitas, dan kehidupan penduduknya yang hedonis (gemar foya-foya). Di kota, segala fasilitas mutakhir dan nonmutakhir, baik yang bersifat positif yang menjurus kepada surga maupun fasilitas negatif yang menjurus neraka, tersedia. Di kota Surabaya misalnya, terdapat sekian ratus perguruan tinggi, ribuan tempat ibadah, dan ratusan pesantren. Namun di kota ini pula terdapat sekian puluh diskotik dan fasilitas kemaksiatan lain yang berdiri megah.

Maka sebagai pihak yang ingin beradaptasi dengan situasi ala kota, Grha Aitam Al Madinah diformat sebagai panti asuhan bercorak modern yang memosisikan anak yatim sebagai pusat perhatian, subyek pembinaan, pemberdayaan, dan pelayanan. Mereka akan diperkenalkan dan dibiasakan untuk menggunakan peralatan-peralatan modern, layaknya fasilitas multi media, yang biasanya dipakai oleh “orang kota”.

Selama masa penempaan di Grha, setiap anak yatim akan mendapatkan layanan secara penuh dan baik. Mereka akan didampingi oleh beberapa pengasuh (murabbi). Pengasuhan dilakukan secara penuh (full day) sehingga perkembangan anak dan penguasaan skil bahasa Arab dan Inggris dapat dipantau secara kontinyu. Selain itu program-program Graha dapat terserap secara optimal dan terimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari anak. Secara prinsipil, pembinaan anak-anak yatim di Graha Aitam Al Madinah selalu bertumpu pada upaya mewujudkan visi karamah dan istiqamah dalam rangka memberdayakan 7 dimensi kemanusiaan (lihat artikel Syarif Thayib pada edisi Februari 2009).

Diharapkan, Grha Aitam menjadi kawah candradimuka penempaan kader-kader pemimpin bangsa yang siap melakukan perubahan sebagaimana Mohammad Hatta (proklamator Republik ini) yang juga yatim. Karenanya, nama yang digunakan ialah Grha karena di situlah proses pembibitan tunas-tunas dan pembentukan generasi unggul yang bersumber dari anak-anak yatim akan berjalan.

Maka Al Madinah kemudian menjadi kotanya anak yatim dan pusatnya anak yatim yang “madany (beradab ala kota sesungguhnya)”. Dengan demikian anak yatim tidak lagi dicitrakan sebagai anak miskin yang perlu dibelaskasihi karena nasibnya, tetapi mereka dihargai dan dibiayai karena memang potensial menjadi pemegang tongkat estafet Republik di masa depan dan mengantarkan Indonesia menjadi bangsa rahmatan lil alamin .

Comments :

0 komentar to “Al Madinah; Kotanya Anak Yatim”

Posting Komentar

Saran, kritik dan komentar anda akan sangat membantu kami dalam mengembangkan web blog ini. Terimakasih

 

koleksi

koleksi

Redaksi

Ketua Pengarah: M. Arif Junaidi. Penanggungjawab: Syarif Thayib (Ketua Yayasan Al Madinah).
­Redaktur Ahli: dr. Muhammad Thohir, Sp.Kj., Ahmad Faiz Zainuddin, S.Psi, Masuki M. Astro, Siti Raudlatul Jannah, S.Ag . Pemimpin Umum: Izzuddin Al Anshary. Pemimpin Redaksi: M. Syafiq Syeirozi. Redaktur Pelaksana: A. Suud Fuadi. Dewan Redaksi: Helmi Jauhari, A. Fathul Hudi. Distributor: Syafi’uddin. Kontributor Edisi ini: Aura Azzahra. Desain/Layout: Abd. Rokhman
Alamat Redaksi: Grha Aitam, Jl. Bratang Binangun IX/25-27 Surabaya. Telepon/Faksimile: (031) 5019424 / 5022212. ­E-Mail: redaksimadinah@yahoo.com. Web Blog: majalah-madinah.blogspot.com