Oleh: dr. Muhammad Thohir, Sp.Kj
(Penasehat Yayasan Al Madinah)
Beberapa hari lalu salah seorang teman bercerita perihal masalah yang sedang mendera kawan akrabnya, sebut saja namanya Abe. Abe adalah pengusaha properti yang menyimpan perasaan dendam yang sangat besar kepada kawannya. Abe merasa dikhianati oleh karib sejawatnya di kampus dulu. Pinjaman modal usaha yang ia berikan ke kawannya, ditilap. Hati Abe kian sakit dan mendidih ketika tahu pacarnya alias calon istrinya, diselingkuhi oleh kawannya itu. Konon Abe melihat keduanya pernah bergandengan mesra di sebuah pusat perbelanjaan.
Hati Abe kini dipenuhi oleh amarah. Menurut penuturan teman saya itu, ketika sedang menganggur, Abe pasti teringat dia, dan saat itu pula amarah bangkit hingga timbul niat membunuhnya. Yang paling parah, kemarahan yang merasuki pikiran dan hati Abe kini sangat mengganggu kinerjanya.
Perasaan marah adalah manusiawi, namun jika berkepanjangan justru menyiksa diri sendiri. Negatif thinking atau su’u al-dhan adalah akar pemicunya. Coba seandainya Abe berprasangka postif, “oh mungkin temanku belum punya cukup duit padahal dia niat bayar. Oh barangkali dia tidak tahu kalau cewek yang dipacarinya adalah calon istriku.” Namun untuk menanamkan perasaan itu memang berat.
Tetapi kalau pun prasangka Abe terhadap temannya itu benar, bukankah tetap harus husnu al-dhan kepada Allah. Tentang pacar, ya mungkin memang bukan jodoh. Yakinkan diri bahwa Allah akan memberikan jodoh yang terbaik. Tentang duit yang ditilap, keimanan bahwa Allah adalah pemberi rezeki merupakan kewajiban.
Salah satu langkah dari upaya membina jiwa yang sehat yaitu tidak menjadikan hati sebagai keranjang sampah atau kotoran. Sampah itu keniscayaan alamiah. Di mana pun ada sampah. Makanan yang bergizi, semahal apa pun, tetap ada sampahnya. Termasuk dalam pergaulan, selain ada manfaatnya juga ada sampahnya.
Dalam interaksi sosial kita dapat mengambil manfaat dari kelebihan seseorang, tetapi dalam hubungan itu juga ada sampahnya. Terkadang ada satu atau dua kalimat yang tidak mengenakkan. Mungkin bahasa lisan atau bahasa tubuh teman kita ada yang tidak menyenangkan di hati, maka anggap saja sebagai sampah pergaulan. Kalau itu dimasukkan ke dalam hati, sama saja dengan menjadikan hati kita sebagai keranjang sampah. Dalam jangka bisa terjadi pembusukan di dalam hati (na’udzu billahi min dzalika / saya berlindung kepada Allah dari hal tersebut).
Maka dalam kasus Abe, semestinya kesalahan temannya tidak perlu dimasukkan ke dalam hati atau setidaknya jangan dipendam dalam-dalam. Kalau tidak bisa dimusyawarahkan ya sudah dimaafkan saja, karena langkah paling tepat untuk memelihara hati ya memaafkan. Kalau itu disimpan dalam hati sebagai dendam, sama saja dengan menjadikan hati sebagai keranjang sampah.
Memaaafkan itu bagian dari ketakwaan, wal ya’fu wal yashfahu (maafkanlah dan berlapangdadalah), begitu sabda Tuhan dalam Al Quran. Bahkan yang lebih utama, memaafkan itu tidak perlu diminta. Kita harusnya sudah memaafkan kesalahan siapa pun walaupun belum diminta. Insya Allah dengan prinsip hidup itu, hati dan pikiran akan menjadi jernih dan ringan. Selain aktifitas ruhani dapat lebih khusyu’, kualitas kerja juga meningkat.
Maka ”tiada maaf bagimu” adalah “ajaran” sesat, karena antitakwa. Kalau takwa itu harus memaafkan, demi menyelamatkan jiwa kita sendiri. Dalam kasus Abe, memaafkan adalah kebutuhan karena dia sangat berharap supaya jiwanya tenang dan pikiran kembali fokus. Menghadapi masalah memang seharusnya dengan paradigma sehat, yakni menghadapinya dengan akal sehat, bukan dengan emosi dan subyektifitas yang non realistis. Karena itu hanya menjerumuskan manusia pada paradigma sakit.
(Penasehat Yayasan Al Madinah)
Beberapa hari lalu salah seorang teman bercerita perihal masalah yang sedang mendera kawan akrabnya, sebut saja namanya Abe. Abe adalah pengusaha properti yang menyimpan perasaan dendam yang sangat besar kepada kawannya. Abe merasa dikhianati oleh karib sejawatnya di kampus dulu. Pinjaman modal usaha yang ia berikan ke kawannya, ditilap. Hati Abe kian sakit dan mendidih ketika tahu pacarnya alias calon istrinya, diselingkuhi oleh kawannya itu. Konon Abe melihat keduanya pernah bergandengan mesra di sebuah pusat perbelanjaan.
Hati Abe kini dipenuhi oleh amarah. Menurut penuturan teman saya itu, ketika sedang menganggur, Abe pasti teringat dia, dan saat itu pula amarah bangkit hingga timbul niat membunuhnya. Yang paling parah, kemarahan yang merasuki pikiran dan hati Abe kini sangat mengganggu kinerjanya.
Perasaan marah adalah manusiawi, namun jika berkepanjangan justru menyiksa diri sendiri. Negatif thinking atau su’u al-dhan adalah akar pemicunya. Coba seandainya Abe berprasangka postif, “oh mungkin temanku belum punya cukup duit padahal dia niat bayar. Oh barangkali dia tidak tahu kalau cewek yang dipacarinya adalah calon istriku.” Namun untuk menanamkan perasaan itu memang berat.
Tetapi kalau pun prasangka Abe terhadap temannya itu benar, bukankah tetap harus husnu al-dhan kepada Allah. Tentang pacar, ya mungkin memang bukan jodoh. Yakinkan diri bahwa Allah akan memberikan jodoh yang terbaik. Tentang duit yang ditilap, keimanan bahwa Allah adalah pemberi rezeki merupakan kewajiban.
Salah satu langkah dari upaya membina jiwa yang sehat yaitu tidak menjadikan hati sebagai keranjang sampah atau kotoran. Sampah itu keniscayaan alamiah. Di mana pun ada sampah. Makanan yang bergizi, semahal apa pun, tetap ada sampahnya. Termasuk dalam pergaulan, selain ada manfaatnya juga ada sampahnya.
Dalam interaksi sosial kita dapat mengambil manfaat dari kelebihan seseorang, tetapi dalam hubungan itu juga ada sampahnya. Terkadang ada satu atau dua kalimat yang tidak mengenakkan. Mungkin bahasa lisan atau bahasa tubuh teman kita ada yang tidak menyenangkan di hati, maka anggap saja sebagai sampah pergaulan. Kalau itu dimasukkan ke dalam hati, sama saja dengan menjadikan hati kita sebagai keranjang sampah. Dalam jangka bisa terjadi pembusukan di dalam hati (na’udzu billahi min dzalika / saya berlindung kepada Allah dari hal tersebut).
Maka dalam kasus Abe, semestinya kesalahan temannya tidak perlu dimasukkan ke dalam hati atau setidaknya jangan dipendam dalam-dalam. Kalau tidak bisa dimusyawarahkan ya sudah dimaafkan saja, karena langkah paling tepat untuk memelihara hati ya memaafkan. Kalau itu disimpan dalam hati sebagai dendam, sama saja dengan menjadikan hati sebagai keranjang sampah.
Memaaafkan itu bagian dari ketakwaan, wal ya’fu wal yashfahu (maafkanlah dan berlapangdadalah), begitu sabda Tuhan dalam Al Quran. Bahkan yang lebih utama, memaafkan itu tidak perlu diminta. Kita harusnya sudah memaafkan kesalahan siapa pun walaupun belum diminta. Insya Allah dengan prinsip hidup itu, hati dan pikiran akan menjadi jernih dan ringan. Selain aktifitas ruhani dapat lebih khusyu’, kualitas kerja juga meningkat.
Maka ”tiada maaf bagimu” adalah “ajaran” sesat, karena antitakwa. Kalau takwa itu harus memaafkan, demi menyelamatkan jiwa kita sendiri. Dalam kasus Abe, memaafkan adalah kebutuhan karena dia sangat berharap supaya jiwanya tenang dan pikiran kembali fokus. Menghadapi masalah memang seharusnya dengan paradigma sehat, yakni menghadapinya dengan akal sehat, bukan dengan emosi dan subyektifitas yang non realistis. Karena itu hanya menjerumuskan manusia pada paradigma sakit.
Comments :
Posting Komentar
Saran, kritik dan komentar anda akan sangat membantu kami dalam mengembangkan web blog ini. Terimakasih