Mabrur Tidak Harus Menyikut Kan...?

Oleh: Wahyudi Heru

Musim haji telah berlalu. Kang Sholeh merasa sangat lega telah menyelesaikan semua kesibukan yang berkaitan dengan pelaksanaan ibadah haji; dari urusan administrasi dan pamitan-pamitan pra keberangkatan hingga tasyakuran dan menerima tamu yang minta didoakan pasca ibadah haji. Apa yang dilakukan Kang Sholeh tersebut benar-benar menghabiskan banyak energi, waktu, dan biaya. Hal itu dilakukannya bukan tanpa alasan, namun demi mendapatkan kebahagiaan dunia dan khususnya akhirat. Bukankah Rasul telah bersabda -sebagaimana banyak didengungkan oleh para pembimbing Kelompok Bimbingan Ibadah Haji (KBIH)— bahwa “Al hajju al mabruur laisa lahu jazaa’an illa al jannah (Tidak ada balasan bagi haji mabrur selain surga),” artinya Nabi memberi garansi surga bagi haji yang mabrur.

Maka semangat para jamaah haji dapat kita lihat bukan hanya saat menjelang keberangkatan, namun terlihat pula keseriusan dan semangat mereka dalam menjalankan ibadah haji di tanah suci. Siapa yang mau bersusah payah menghabiskan tenaga dan duit tanpa membawa hasil alias sia-sia hanya karena haji yang tidak mabrur.

Semua jamaah yang berangkat ke tanah suci (Makkah dan Madinah) berharap hajinya mabrur. Sayangnya para pembimbing jamaah haji kerap menyampaikan keutamaan haji mabrur dengan tanpa disertai penjelasan tentang apa dan bagaimana cara atau strategi meraih predikat agung itu. Bisa jadi mereka menganggap bahwa semua orang tahu apa itu haji mabrur (ataukah karena mereka sendiri tidak tahu apa itu haji mabrur?). Bukankah kebanyakan jamaah haji Indonesia adalah orang awam? Bukankah kebanyakan jamaah haji adalah orang-orang yang belum pernah melaksanakan ibadah ini sebelumnya?

Ibadah haji adalah rukun Islam yang dipandang berbeda dan istimewa oleh banyak kalangan. Banyak orang berpendapat bahwa haji adalah penyempurna keislaman seseorang, sehingga orang yang belum melaksanakan ibadah haji dianggap belum sempurna keislamannya. Lebih dari itu, ibadah ini dianggap paling sulit dan berat, karena pelakunya harus memersiapkan diri secara optimal dalam hal fisik, psikis, maupun finansial.

Benarkah seperti itu? Berat mungkin ya, tapi sulit? Jika kita cermati dengan benar, sebenarnya tidak ada satu pun ibadah yang diwajibkan Allah dan dibuat sulit. Karena setiap kewajiban selalu disertai dengan syarat “semampunya”. Takwa sekali pun diperintahkan-Nya dengan firman, ittaqullaha mastatha’tum (bertakwalah kepada Allah semampumu). Allah tidak seperti orang-orang yang sok “mewakili”-Nya di muka bumi yang gila untuk dihormati dengan menerapkan standar ketakwaan yang sama rata. Allah adalah Zat yang Maha Mengetahui kekuatan dan kemampuan masing-masing hamba-Nya.

Jika ibadah ini dikatakan berat mungkin masih ada benarnya, tapi jika dikatakan sulit, sepertinya tidak. Kalau kita melihat seluruh ritual dalam ibadah ini, sebenarnya malah sangat mudah. Ibadah ini berbeda dengan shalat yang harus ada bacaan-bacaan wajib. Haji adalah ibadah fi’liyah (gerak fisik). Bahkan Anda dapat melakukan haji dengan sah tanpa harus mengucapkan apa pun. Sebagai contoh, untuk pelaksanaan thawaf, tanpa bimbingan pun seseorang tidak akan salah. Karena jika seseorang memutari Ka’bah tidak sebagaimana mestinya, maka ia akan bertabrakan dengan yang lainnya. Begitu pula seseorang dapat melaksanakan sa’i asalkan tahu mana itu Shafa dan Marwah serta dapat menghitung jumlah putar baliknya dengan baik. Bagi orang waras, mengetahui Shafa dan Marwah adalah sebagaimana mengetahui Tugu Pahlawan dan Taman Bungkul di Surabaya. Adapun bacaan-bacaannya adalah untuk pelengkap atau penyempurna ibadah saja.

Memang ada bagian yang sulit sekaligus berat dalam pelaksanaan ibadah haji, namun seringkali tidak menjadi perhatian banyak jamaah haji, yaitu bahwa ibadah haji adalah murni untuk mendapatkan ridla Allah, bukan untuk menyenangkan diri sendiri. Sehubungan dengan makna kemabruran haji, ada satu riwayat dari Imam Ahmad, Ibnu Khuzaimah, dan at Thabrany yang mengatakan bahwa Rasulullah ditanyai para sahabat, “Wa maa birruhu? (apa syarat kemabrurannya)” Rasulullah menjawab, “Thib al kalam wa ith’am at tha’am (berkata yang baik dan memberi makan [bersedekah])”.

Jika kita perhatikan hadits tersebut, Rasulullah tidak mengaitkan haji mabrur dengan thawaf, sa’i, ataupun wuquf. Namun Rasulullah mengaitkan kemabruran haji dengan hal-hal yang berhubungan dengan pergaulan sesama manusia, interaksi sosial, seperti menjaga kebaikan ucapan dan memberi makan orang-orang papa yang membutuhkan. Dapat juga kita cermati dalam pelbagai kisah bagaimana sikap rendah hati Rasul, serta kelembutan dan penghargaannya kepada orang lain dalam pelaksanaan ibadah haji. Sebuah sikap yang menunjukkan penyerahan diri yang utuh dari seorang hamba kepada Tuhannya dan keramahtamahan kepada sesama anak Adam.

Sangat ironis apabila semangat yang menggebu-gebu dari para jamaah haji tidak didasari dengan pemahaman yang baik tentang haji mabrur. Jika makna kemabruran haji tidak dipahami dengan baik, bisa saja motivasi yang membuncah demi menggapai keutamaan haji mabrur malah menghasilkan sikap yang mau menang sendiri dan tidak menghargai orang lain. Hal ini dapat kita lihat dari banyaknya jamaah haji yang rela untuk saling dorong dan saling menyikut hanya untuk mencium Hajar Aswad yang sakral. Padahal kalau dilihat dari kacamata fiqh, hukum mencium Hajar Aswad paling tinggi adalah sunah, sedangkan berbuat tidak menyenangkan orang lain adalah haram. Bukankah Rasul memberikan definisi operasional tentang seorang muslim dengan sabdanya: “Al muslimu man salima al muslimuna min lisanihi wa yadihi (muslim sejati adalah seseorang yang mampu mencegah lisan dan tangannya dari menyakiti muslim lainnya).” Lantas apa yang mendukung berbagai perbuatan tercela itu jika bukan ketidakpahaman tentang makna haji mabrur. Bagaimana mungkin sesuatu yang berhukum sunah dilakukan dengan cara yang haram? Sungguh sangat ironis.

Dalam khazanah ilmu fiqh kita temui pula kredo, “Al waajibu laa yutraku illaa li waajibin”, bahwa sesuatu yang wajib tidak boleh ditinggalkan kecuali karena sesuatu wajib yang lain. Mungkin ada yang berargumen, bukankah mengalah dalam urusan ibadah itu tidak baik sebagaimana kaidah, “Al itsaru fil qurbi makruhun (mengalah dalam hal ibadah itu makruh)”? Maka yang perlu diketahui adalah dilarangnya mengalah dalam urusan ibadah bukan berarti diperbolehkannya berebut melakukan ibadah dengan segala cara. Sebuah kebaikan akan menjadi kebaikan bila dilakukan dengan cara yang baik. Pepatah bijak mengatakan, mengetahui apa yang seharusnya Anda lakukan itu penting, tapi mengetahui bagaimana cara melakukannya itu jauh lebih penting. Oleh karena itu jika ingin haji Anda mabrur, maka jagalah hubungan baik dengan Allah dan sesama manusia.

Semangat beragama yang tidak disertai dengan pemahaman keberagamaan yang tepat, dalam skala lebih luas rentan memantik banyaknya masalah dalam kehidupan beragama. Semangat untuk ber-Islam jauh lebih tinggi dari pada pemahaman tentang keislaman itu sendiri. Alangkah konyol dan lucunya jika kita mencintai sesuatu tanpa kita mengenalnya dengan baik. Wallahu a’lam.

Comments :

0 komentar to “Mabrur Tidak Harus Menyikut Kan...?”

Posting Komentar

Saran, kritik dan komentar anda akan sangat membantu kami dalam mengembangkan web blog ini. Terimakasih

 

koleksi

koleksi

Redaksi

Ketua Pengarah: M. Arif Junaidi. Penanggungjawab: Syarif Thayib (Ketua Yayasan Al Madinah).
­Redaktur Ahli: dr. Muhammad Thohir, Sp.Kj., Ahmad Faiz Zainuddin, S.Psi, Masuki M. Astro, Siti Raudlatul Jannah, S.Ag . Pemimpin Umum: Izzuddin Al Anshary. Pemimpin Redaksi: M. Syafiq Syeirozi. Redaktur Pelaksana: A. Suud Fuadi. Dewan Redaksi: Helmi Jauhari, A. Fathul Hudi. Distributor: Syafi’uddin. Kontributor Edisi ini: Aura Azzahra. Desain/Layout: Abd. Rokhman
Alamat Redaksi: Grha Aitam, Jl. Bratang Binangun IX/25-27 Surabaya. Telepon/Faksimile: (031) 5019424 / 5022212. ­E-Mail: redaksimadinah@yahoo.com. Web Blog: majalah-madinah.blogspot.com